Setiap lima tahun, rakyat Indonesia memilih presiden baru sebagai nahkoda bagi pembangunan ekonomi di lima tahun selanjutnya melalui pemilihan presiden (pilpres). Sebagai bagian dari pilpres, setiap calon presiden (capres) selalu menyampaikan gagasan dalam bentuk visi dan misi.Â
Salah satunya adalah visi dan misi pembangunan ekonomi. Visi dan misi ekonomi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikenal dengan Jokowinomics. Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita mengenal SBY-nomics. Sebelumnya, kita mengenal istilah Habibienoics, Suhartonomics atau juga Wijoyonomics.Â
Mengenai Jokowinomics, istilah ini pada dasarnya mirip dengan kebijakan ekonomi Sukarno atau ekonomi berdikari. Melalui kebijakan ekonomi itu, pemerintahan Soekarno berupaya membangun ekonomi yang lebih adil dan mandiri. Kebijakan-kebijakan tersebut didasarkan pada ideologi sosialisme, yang menekankan peran negara dalam mengatur perekonomian.
Dalam konteks sistem ekonomi liberal yang dianut oleh Indonesia hingga saat ini, kebijakan ekonomi Orde Lama memiliki arti penting sebagai pelajaran berharga. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa intervensi negara yang berlebihan dalam perekonomian dapat menyebabkan berbagai persoalan, seperti inflasi, korupsi, dan inefisiensi.
Arti Penting
Kebijakan ekonomi Orde Lama memiliki arti penting dalam konteks sejarah Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki upaya untuk membangun ekonomi yang lebih adil dan mandiri sejak awal kemerdekaan.
Kebijakan ekonomi pada masa Presiden Sukarno juga merupakan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. Perjuangan tersebut terus berlanjut hingga saat ini.Â
Yang menarik, upaya mandiri secara ekonomi itu masih menghadapi berbagai tantangan, seperti ketidakadilan ekonomi dan ketergantungan terhadap impor. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit untuk membangun ekonominya pada saat itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia menganut sistem ekonomi terpimpin yang berorientasi pada ideologi sosialisme. Kebijakan ekonomi Orde Lama ini didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu: Pertama, pembangunan ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak; dan, kedua, kebebasan dan kedaulatan ekonomi nasional.
Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, pemerintah Orde Lama menerapkan berbagai kebijakan ekonomi, antara lain:
- Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
- Program industrialisasi lewat substitusi impor.
- Pembangunan ekonomi terintegrasi.
Kebijakan Nasionalisasi
Kebijakan ini dimulai pada 29 Desember 1957, dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda di bidang perkebunan, pertambangan, transportasi, dan perbankan. Kebijakan ini diawali dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda di Sumatra Utara, kemudian diperluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda bertujuan untuk mengambil alih aset-aset ekonomi yang dikuasai oleh negara asing. Tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap modal asing dan memperkuat posisi ekonomi nasional.
Sebaliknya, kebijakan itu juga memiliki dampak negatif adalah berkurangnya investasi asing dan teknologi yang masuk ke Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat.
Program Industrialisasi
Program industrialisasi dilakukan melalui industrialisasi substitusi impor (ISI). Salah satu tujuannya adalah membangun industri-industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya diimpor.Â
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi defisit neraca perdagangan dan meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. Program ini dimulai pada 1956, dengan fokus pada industri-industri dasar, seperti industri tekstil, industri semen, dan industri baja.Â
Program ini diperluas pada tahun 1959, dengan memasukkan industri-industri konsumsi, seperti industri makanan, industri minuman, dan industri rokok.
Program industrialisasi lewat substitusi impor memiliki beberapa dampak, baik positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah berkurangnya impor barang-barang konsumsi dan barang-barang industri, sehingga meningkatkan neraca perdagangan.Â
Sementara itu, dampak negatifnya berkaitan dengan kenyataan bahwa industri-industri dalam negeri ternyata dibangun tidak efisien dan berbiaya mahal. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan pembangunan yang mengabaikan keunggulan komparatif Indonesia.
Selain itu, intervensi negara yang berlebihan dalam perekonomian juga telah menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya persaingan dan kontrol harga yang ketat oleh pemerintah.
Program industrialisasi lewat substitusi impor bertujuan untuk membangun industri-industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya diimpor. Pemerintah mebgharapkan kebijakan itu dapat mengurangi defisit neraca perdagangan dan meningkatkan kemandirian ekonomi nasional.
Pembangunan ekonomi terintegrasi
Tujuan kebijakan ini adalah untuk membangun berbagai sektor ekonomi secara bersamaan, baik sektor pertanian, industri, maupun jasa. Kebijakan ini bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkelanjutan.
Program ini dimulai pada 1959, dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan, dan pelabuhan. Program ini diperluas pada tahun 1960, dengan memasukkan pembangunan pertanian, industri, dan jasa.
Pembangunan ekonomi terintegrasi memiliki beberapa dampak, baik positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, dampak negatifnya adalah pembangunan ekonomi yang tidak merata, karena fokusnya pada sektor industri dan infrastruktur.
Pada umumnya, kebijakan ekonomi pemerintahan Sukarno harus mempertimbangkan kepentingan investasi asing, walau tujuan utamanya tetap untuk membangun ekonomi yang lebih adil dan mandiri.
Kritik
Kebijakan ekonomi Orde Lama ini mendapat tanggapan yang beragam dari para pakar ekonomi, baik di dalam maupun di luar negeri. Para pakar ekonomi asing, khususnya, banyak yang mempertanyakan kebijakan ekonomi Orde Lama Soekarno yang dianggap berorientasi ideologis sosialis. Kebijakan Sukaro dipandang cenderung mengabaikan aspek efisiensi dan stabilitas ekonomi.
Papanek (1980), misalnya, menyoroti problem korupsi, inefisiensi, dan inflasi yang tinggi di masa Orde Lama. Persoalan itu merupakan akibat dari perusahaan-perusahaan negara yang tidak kompetitif serta kontrol ekonomi yang ketat.
Sedangkan Bresnan (1993) berpendapat bahwa kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda pada masa itu telah membatasi peran investasi asing dan swasta dalam perekonomian. Akibatnya, modal dan teknologi yang masuk ke Indonesia berkurang, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Lalu, Booth (1992) mengkritik bahwa program industrialisasi lewat substitusi impor yang dijalankan Orde Lama tidak efisien dan berbiaya mahal. Bagi Booth, semua itu disebabkan oleh abisnya pemerintah Indonesia pada aspek keunggulan komparatif. Persoalan itu menyebabkan Indonesia harus mengimpor bahan baku dan teknologi dari luar negeri, sehingga membebani neraca perdagangan.
Ulasan di atas menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut memiliki beberapa kelemahan, antara lain: Intervensi negara yang berlebihan dalam perekonomian; Pengabaikan keunggulan komparatif Indonesia; Korupsi dan inefisiensi.
Pelajaran Penting
Walaupun bertujuan membangun ekonomi yang lebih adil dan mandiri, kebijakan-kebijakan itu ternyata tidak sepenuhnya berhasil dan menjadi pelajaran berharga bagi Indonesiapada saat ini.
Dalam konteks sistem ekonomi liberal yang dianut oleh Indonesia sekarang, kebijakan itu menunjukkan bahwa intervensi negara yang berlebihan dalam perekonomian dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti inflasi, korupsi, dan inefisiensi.
Pemahaman tersebut dapat membantu kita untuk memahami perekonomian Indonesia secara lebih komprehensif dan untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih efektif di masa depan.
Memahami kebijakan ekonomi Orde Lama Soekarno memiliki beberapa manfaat, antara lain untuk memahami sejarah perekonomian Indonesia, merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih efektif, dan memahami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia saat ini.
Salah satu pelajaran pentingnya adalah bahwa siapa pun yang menang pada pilpres 2024 perlu menerapkan kebijakan ekonomi yang seimbang antara peran negara dan pasar. Kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, efisiensi, dan stabilitas ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H