Diplomasi multilateral Indonesia dalam Presidensi G20 berjalan semakin intens. Presidensi itu sudah dimulai sejak 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Berbagai pertemuan telah dilakukan di tingkat pejabat tinggi dan Menteri G20.Â
Di antara berbagai pertemuan Menteri itu, yang paling menyita perhatian publik adakah pertemuan para menteri luar negeri (Menlu atau Foreign Minister Meeting/FMM) dan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Menkeu dan GBS atau Finance Minister and Central Bank Governor/FMCBG) G20.Â
Tanpa mengesampingkan urgensi agenda kementerian G20 lainnya (misalnya menteri kesehatan, pariwisata, perdagangan dan lain-lain), kedua pertemuan itu menjadi tantangan strategis bagi Presidensi Indonesia.Â
Keberhasilan Indonesia dalam penyelenggaraan pertemuan FMM dan FMCBG seringkali dianggap sebagai ujian bagi Indonesia dalam pertemuan para pemimpin forum ekonomi itu pada November mendatang. Keberhasilan itu diindikasikan oleh kehadiran para pemimpin negara-negara anggota G20 pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) G20Â
Ujian Diplomasi
Ujian bagi diplomasi Indonesia yang sebenarnya adalah mampu menghadirkan semua pemimpin anggota G20. Para pemimpin itu khususnya adalah Presiden AS Joe Biden, Presiden Rusia Vladimir Putin, Pemimpin China Xi Jinping, dan juga menghadirkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.Â
Melalui Presidensi G20, Indonesia juga berpeluang besar untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina. Pertemuan antara presiden Indonesia Joko Widodo dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Kiev dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow telah membuka peluang damai itu dalam kerangka kerjasama G20.Â
Demikian juga peluang diplomasi Indonesia pada pertemuan para Menteri Luar Negeri (Menlu) G20 (7-8 Juli 2022) dan Menteri Keuangan-Gubernur Bank Sentral pada 15-16 Juli lalu.
Namun demikian, Indonesia sangat menyadari kemungkinan pengaruh geopolitik dunia terhadap Presidensi di G20 pada 2022. Geopolitik dunia memperlihatkan dinamika yang semakin mengkawatirkan, yaitu dampak global dari perang Rusia Ukraina.Â
Sepanjang 2020-2021, agenda pertemuan G20 sangat dipengaruhi oleh upaya-upaya mencari solusi multilateral untuk mengatasi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. Selanjutnya, perang Rusia-Ukraina sejak 24 Februari 2022 telah memasukkan kembali negara-negara ke dalam krisis ekonomi global.
Pemulihan ekonomi global paska-pandemi Covid-19 menjaadi terhambat oleh perang tersebut. Agresi Rusia terhadap Ukraina yang berkepanjangan menyebabkan ekonomi global terkena krisis. Kenaikan harga barang, hambatan terhadap rantai pasokan bahan pangan, dan boikot ekonomi menjadi dampak negatif dari perang tersebut.Â
Akibatnya, berbagai negara harus mengalami krisis pangan, bahan bakar, dan obat-obatan. Lembaga internasional menempatkan beberapa negara berpotensi mengalami inflasi dan, bahkan, bangkrut secara ekonomi. Sri Lanka, misalnya, harus mengalami konsekuensi dari krisis ekonomi, yaitu krisis politik dalam bentuk kaburnya Presiden Gotabaya Rajapaksa ke luar negeri.
Dengan situasi itu, Indonesia didorong untuk berperan aktif sebagai Presidensi G20 secara independen dan netral. Direktur IMF bahkan menemui Presiden Joko Widodo dan meminta membawa persoalan ini ke dalam pertemuan G20.
Kerjasana Multilateral
Presidensi G20 dapat dikatakan menjadi tonggak penting bagi pergeseran politik luar negeri Indonesia. Pergeseran diplomasi itu terlihat dari orientasi bilateral menjadi lebih multilateral. Kerjasama multilateral dengan lebih banyak negara di satu forum global memiliki tujuan utama, yaitu membentuk aturan main bersama demi pemulihan ekonomi global.Â
Dalam kerjasama multilateral itu, negara-negara yang berperan biasanya berupaya membangun kesepakatan bersama mengenai isu global tertentu. Lebih dari 100 pertemuan diselenggarakan demi membentuk norma atau aturan-aturan main global yang mampu mengantisipasi krisis sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.Â
Kolaborasi atau kerjasama antar-negara diharapkan berlangsung secara terus-menerus sebagai bagian penting dari komitmen bersama menyesuaikan isu global tertentu. Tujuan utama berbagai pertemuan dan pembentukan aturan global itu adalah recover together, recover stronger yang menjadi tema utama Presidensi G20 Indonesia.
Bagi pemerintahan Presiden Jokowi, rangkaian pertemuan G20 —termasuk FMM dan FMCBG ini— menjadi pilar penting bagi perubahan diplomasi Indonesia. Kecenderungan multilateralisme diplomasi Indonesia ini sangat berbeda dengan pada masa pertama pemerintahan Presidwn Jokowi.Â
Pada lima tahun pertama, pemerintahan Jokowi dipandang menjadi lebih nasionalis dan bilateral. Ingatan kita tentu saja masih sangat jelas dengan sepak terjang Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.Â
Berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Jokowi secara mengejutkan melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal-kapal asing yang secara ilegal berlayar dan menangkap ikan di perairan Indonesia.
Begitu pula dengan kecenderungan pemerintahan Jokowi yang lebih mengutamakan kerjasama bilateral. Walaupun tidak menghilangkan sama sekali kerjasama multilateral, namun kecenderungan Presiden Jokowi tidak menghadiri berbagai forum multilateral dipakai sebagai alasan bagi bilateralisme itu.Â
Sepanjang 2014-2019, ASEAN dianggap sebagai salah satu dari pilar utama dalam kerjasama multilateral. ASEAN bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya pilar diplomasi Indonesia, sebagaimana praktek diplomasi pada pemerintahan sebelumnya.
Berbeda dengan pemerintahan pertama, pada masa kedua ini pemerintahan Jokowi dapat dipandang lebih mengakomodasi kerjasama multilateral. Diplomasi Indonesia di G20 juga membuka peluang strategis bagi perdamaian Rusia-Ukraina.Â
Netralitas Indonesia kepada kedua pihak menjadi modalitas utama untuk mendekatkan kepentingan kedua negara. Presiden Jokowi telah bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.Â
Multilateralisme Indonesia juga tampak sekali pada pertemuan FMM dan FMCB. Kedua pertemuan menteri itu telah menghasilkan masukan progresif yang akan memperkuat multilateralisme atau solidaritas antar-negara di tengah krisis global.Â
Sebagai forum ekonomi yang mewakili berbagai kawasan dunia, G20 memiliki kekuatan untuk membahas berbagai isu global secara komprehensif. Â
Pertemuan-pertemuan itu berorientasi pada solusi ekonomi-sosial global yang berkelanjutan, termasuk krisis ekonomi dan kemungkinan kebangkrutan ekonomi di beberapa negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H