Pemulihan ekonomi global paska-pandemi Covid-19 menjaadi terhambat oleh perang tersebut. Agresi Rusia terhadap Ukraina yang berkepanjangan menyebabkan ekonomi global terkena krisis. Kenaikan harga barang, hambatan terhadap rantai pasokan bahan pangan, dan boikot ekonomi menjadi dampak negatif dari perang tersebut.Â
Akibatnya, berbagai negara harus mengalami krisis pangan, bahan bakar, dan obat-obatan. Lembaga internasional menempatkan beberapa negara berpotensi mengalami inflasi dan, bahkan, bangkrut secara ekonomi. Sri Lanka, misalnya, harus mengalami konsekuensi dari krisis ekonomi, yaitu krisis politik dalam bentuk kaburnya Presiden Gotabaya Rajapaksa ke luar negeri.
Dengan situasi itu, Indonesia didorong untuk berperan aktif sebagai Presidensi G20 secara independen dan netral. Direktur IMF bahkan menemui Presiden Joko Widodo dan meminta membawa persoalan ini ke dalam pertemuan G20.
Kerjasana Multilateral
Presidensi G20 dapat dikatakan menjadi tonggak penting bagi pergeseran politik luar negeri Indonesia. Pergeseran diplomasi itu terlihat dari orientasi bilateral menjadi lebih multilateral. Kerjasama multilateral dengan lebih banyak negara di satu forum global memiliki tujuan utama, yaitu membentuk aturan main bersama demi pemulihan ekonomi global.Â
Dalam kerjasama multilateral itu, negara-negara yang berperan biasanya berupaya membangun kesepakatan bersama mengenai isu global tertentu. Lebih dari 100 pertemuan diselenggarakan demi membentuk norma atau aturan-aturan main global yang mampu mengantisipasi krisis sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.Â
Kolaborasi atau kerjasama antar-negara diharapkan berlangsung secara terus-menerus sebagai bagian penting dari komitmen bersama menyesuaikan isu global tertentu. Tujuan utama berbagai pertemuan dan pembentukan aturan global itu adalah recover together, recover stronger yang menjadi tema utama Presidensi G20 Indonesia.
Bagi pemerintahan Presiden Jokowi, rangkaian pertemuan G20 —termasuk FMM dan FMCBG ini— menjadi pilar penting bagi perubahan diplomasi Indonesia. Kecenderungan multilateralisme diplomasi Indonesia ini sangat berbeda dengan pada masa pertama pemerintahan Presidwn Jokowi.Â
Pada lima tahun pertama, pemerintahan Jokowi dipandang menjadi lebih nasionalis dan bilateral. Ingatan kita tentu saja masih sangat jelas dengan sepak terjang Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.Â
Berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Jokowi secara mengejutkan melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal-kapal asing yang secara ilegal berlayar dan menangkap ikan di perairan Indonesia.
Begitu pula dengan kecenderungan pemerintahan Jokowi yang lebih mengutamakan kerjasama bilateral. Walaupun tidak menghilangkan sama sekali kerjasama multilateral, namun kecenderungan Presiden Jokowi tidak menghadiri berbagai forum multilateral dipakai sebagai alasan bagi bilateralisme itu.Â