Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Netralitas Diplomasi Indonesia di G20 Melawan Kepentingan Global AS

13 Juli 2022   11:22 Diperbarui: 23 Juli 2022   22:14 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun sudah selesai, pertemuan para menteri luar negeri (menlu) atau Foreign Ministers Meeting (FMM) G20 menegaskan pertentangan antara netralitas Indonesia melawan kepentingan global Amerika Serikat (AS). 

Pertentangan itu ditunjukkan oleh protes media internasional, negara-negara Barat, dan menlu Rusia Sergei Lavrov yang walk-out. 

Walau informasi resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia menyanggahnya, peristiwa Menlu Lavrov walk-out justru lebih menjadi perhatian dunia.

Diplomasi G20

Kenyataan tersebut mengindikasikan lebih beratnya diplomasi Indonesia sebagai Presiden G20 pada 2022 ini. 

Berbeda dengan 2 tahun sebelumnya yang hanya berfokus pada pemulihan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19, Presidensi Indonesia juga dihadapkan pada pemulihan ekonomi sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina.

Sejak awal perang tersebut, diplomasi Indonesia seakan mengalami tarikan menjadi pendamai kedua negara yang berperang. 

Dalam situasi tarik-menarik kepentingan global itu, posisi Indonesia sudah jelas sejak Presiden Joko Widodo menyampaikan pendapatnya melalui akun Twitter-nya. Indonesia menolak perang dan tidak mendukung salah satu pihak.

Sikap ini merupakan wujud nyata dari doktrin politik luar negeri, yaitu bebas dan aktif. Namun demikian, sikap yang cenderung berpegang pada nilai-nilai universal itu dipandang tidak jelas. 

Dalam perspektif Hubungan Internasional, sikap Indonesia lebih mengacu pada konstruktivisme. Bukan mendukung salah satu negara yang cenderung berpegang pada pendekatan Realisme. Menolak perang lebih penting ketimbang membela salah satu negara.

Sikap itu mendasari pandangan Indonesia di Sidang Umum PBB (SU PBB). Pada resolusi pertama SU PBB, Indonesia mendukung resolusi itu. 

Walau terkesan tidak sejalan dengan sikap awal pada pernyataan Presiden Jokowi, dukungan pada resolusi itu lebih bermakna ketimbang menolak atau, bahkan, bersikap abstain. 

Dukungan Indonesia lebih pada penolakan perangnya dan meminta pihak-pihak yang berperang mengundurkan diri ke wilayah perbatasan.

Dukungan tersebut semakin nyata jika dibandingkan dengan Singapura, misalnya. Kedua negara memang mendukung resolusi itu, tetapi Singapura berada di dalam tekanan kepentingan global AS melawan Rusia. 

Akibatnya, Singapura ikut mendukung boikot AS dengan cara menutup tiga bank Rusia di negara kota itu. Sedangkan Indonesia menolak ikut memboikot kepentingan Rusia di negeri ini.

Perkembangan perang Rusia-Ukraina menunjukkan bahwa AS dan negara-negara North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau blok Barat mengerahkan diplomasi militer. 

Melalui diplomasi ini, blok Barat mengirimkan peralatan dan persenjataan militer ke Ukraina. Tujuannya adalah membuat Ukraina mengimbangi atau balancing kekuatan Rusia.

Selanjutnya, blok Barat juga mendorong berbagai perusahaan global untuk menutup operasi mereka di Rusia. 

Upaya lain juga ditempuh blok Barat dengan mengerahkan solidaritas global, yaitu menghentikan partisipasi Rusia di berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan internasional, termasuk olah raga.

Dalam situasi itu, SU PBB kembali bersidang dan membuat resolusi menangguhkan Rusia dari Dewan Hak Azasi Manusia (HAM) PBB. Berbeda dengan resolusi sebelumnya, 

Indonesia bersikap abstain dan meminta penyelidikan terhadap peristiwa pembunuhan massal di Bucha, Ukraina. 

Bagi Indonesia, diplomasi tidak harus mengeluarkan sebuah negara dari partisipasi internasional, namun lebih pada mencari peluang-peluang komunikasi untuk negosiasi.

Jaminan Harga dan Keamanan Pasokan Komoditas

Bagi saya, kalaupun Indonesia bisa mendamaikan Rusia-Ukraina, maka konteks utamanya adalah dalam kerangka kerjasama di G20. Kepentingan nasional Indonesia mendamaikan kedua negara perlu diletakkan pada konteks G20. 

Dalam kerangka multilateral G20, Indonesia mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menghadiri KTT G20 pada November mendatang.

Kenyataan bahwa netralitas diplomasi Indonesia ternyata berlawanan dengan kepentingan global AS dan kawan-kawan tentu saja perlu dicarikan jalan keluar. Upaya ini sangat penting agar G20 mampu menemukan sinergi di antara berbagai kepentingan strategis.

Dalam kerangka kerjasama G20 itu, fokus utama diplomasi Indonesia ke Rusia dan Ukraina adalah memulihkan rantai pasok pangan, energi dan pupuk. 

Ketiga barang produksi Rusia dan Ukraina sangat dibutuhkan jutaan orang dari berbagai negara. Perang juga membuat keamanan pasokan ketiga produk  itu tidak bisa dikapalkan dengan volume yang sama seperti sebelum perang kedua negara itu.

Bahkan dampak perang Rusia-Ukraina dikhawatirkan menyebabkan beberapa negara mengalami krisis ekonomi. Rusia dipersalahkan sebagai penyebab kebangkrutan ekonomi Sri Lanka. 

Menlu AS Blinken telah menyampaikan tuduhan serius itu kepada media. Walaupun Rusia bisa saja menganggap tuduhan itu sebagai angin lalu, tuduhan seperti itu bakal serius ketika lebih banyak lagi negara terancam resensi ekonomi.

Dalam konteks itulah, diplomasi Indonesia yang netral dan tidak membela pihak-pihak yang berperang menjadi sangat penting. Ketika bertemu Zelensky dan Putin, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia tidak memiliki kepentingan apa pun kepada kedua negara. 

Indonesia lebih leluasa mengunjungi Ukraina dan Rusia menemui Presiden kedua negara ketimbang negara-negara blok Barat. Pemerintah Indonesia juga bersikeras mengundang semua negara anggota G20 pada FMM pada 6-8 Juli lalu.

AS yang mengancam absen terpaksa menghadirkan Menlu Anthony Blinken agar FMM tidak dikuasai oleh Menlu Rusia Sergei Lavrov. 

Sayangnya, media internasional terlalu provokatif dan melupakan tujuan penting dari FMM G20, yaitu mendiskusikan solusi atas kenaikan harga dan jaminan pasokan komoditas  Rusia-Ukraina.

Terlepas dari berhasil atau gagalnya FMM G20 itu, pertemuan tersebut merupakan uji coba mengenai sejauh mana situasi pertemuan para pemimpin G20 di KTT mendatang. 

Namun, yang paling penting adalah bahwa pemerintah Indonesia harus mulai berani terlibat lebih dalam pada upaya-upaya membangun ruang-ruang diplomasi Rusia-Ukraina.

Tujuan utama G20 adalah mampu memberikan kontribusi bagi pemulihan ekonomi global. Namun demikian, diplomasi Indonesia harus bekerja lebih keras dan lebih diupayakan agar perang Rusia-Ukraina segera selesai. 

Pada akhirnya, kita semua berharap pada KTT G20 di November 2022 semua negara anggota dapat hadir di Bali, termasuk Presiden Zelensky.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun