Sikap itu mendasari pandangan Indonesia di Sidang Umum PBB (SU PBB). Pada resolusi pertama SU PBB, Indonesia mendukung resolusi itu.Â
Walau terkesan tidak sejalan dengan sikap awal pada pernyataan Presiden Jokowi, dukungan pada resolusi itu lebih bermakna ketimbang menolak atau, bahkan, bersikap abstain.Â
Dukungan Indonesia lebih pada penolakan perangnya dan meminta pihak-pihak yang berperang mengundurkan diri ke wilayah perbatasan.
Dukungan tersebut semakin nyata jika dibandingkan dengan Singapura, misalnya. Kedua negara memang mendukung resolusi itu, tetapi Singapura berada di dalam tekanan kepentingan global AS melawan Rusia.Â
Akibatnya, Singapura ikut mendukung boikot AS dengan cara menutup tiga bank Rusia di negara kota itu. Sedangkan Indonesia menolak ikut memboikot kepentingan Rusia di negeri ini.
Perkembangan perang Rusia-Ukraina menunjukkan bahwa AS dan negara-negara North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau blok Barat mengerahkan diplomasi militer.Â
Melalui diplomasi ini, blok Barat mengirimkan peralatan dan persenjataan militer ke Ukraina. Tujuannya adalah membuat Ukraina mengimbangi atau balancing kekuatan Rusia.
Selanjutnya, blok Barat juga mendorong berbagai perusahaan global untuk menutup operasi mereka di Rusia.Â
Upaya lain juga ditempuh blok Barat dengan mengerahkan solidaritas global, yaitu menghentikan partisipasi Rusia di berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan internasional, termasuk olah raga.
Dalam situasi itu, SU PBB kembali bersidang dan membuat resolusi menangguhkan Rusia dari Dewan Hak Azasi Manusia (HAM) PBB. Berbeda dengan resolusi sebelumnya,Â
Indonesia bersikap abstain dan meminta penyelidikan terhadap peristiwa pembunuhan massal di Bucha, Ukraina.Â