Selain faktor-faktor domestik seperti pada tulisan sebelumnya, politik luar negeri (PLN) juga dipengaruhi oleh isu-isu internasional. Faktor-faktor tersebut memainkan peranan penting dalam upaya sebuah negara menanggapi berbagai peristiwa internasional dan posisi negara lain. Selain itu, kondisi tertentu yang mempengaruhi sikap sebuah negara juga dapat berasal dari faktor internasional juga.
Beberapa faktor internasional atau eksternal itu, antara lain:
1. Struktur global/internasional
Hubungan internasional bersifat dinamis dan berubah, sehingga sebuah negara perlu memiliki politik luar negeri sebagai posisi negara itu. Perubahan global lingkungan internasional sejak Perang Dunia kedua adalah munculnya Perang Dingin (PD) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (US). Dunia dikuasai oleh persaingan global di antara kedua negara itu saja atau bipolar hingga awal 1990an. Setelah itu, AS menjadi pemain utama dalam politik global tanpa penantang yang seimbang, sehingga struktur global dinamai unipolar.Â
Ketika AS diserang kelompok teroris Al Qaeda pada 2001 atau yang dikenal dengan peristiwa 911, maka dunia internasional dipandang memiliki multipolaritas. Sejak itu, kekuatan global tidak hanya didominasi oleh negara-negara besar, namun juga memperhitungkan kelompok-kelompok terorisme (baru). Akibatnya, AS tidak bisa lagi menjadi hegemonic state atau negara payung yang memiliki kapabilitas pertahanan dan sekaligus ekonomi untuk mendukung negara-negara sekutunya.
Lingkungan global strategis yang berubah itu sangat mempengaruhi berbagai negara dalam merumuskan politik luar negeri mereka. Negara-negara itu tidak bisa lagi berpihak kepada AS sebagaimana di masa PD. Mereka dituntut memiliki PLN yang fleksibel atau mudah menyesuaikan diri dengan perubahan global, sehingga dapat secara cair mengubah PLN mereka dalam menjalankan kerjasama dan merespon konflik-konflik di luar negaranya.
Contoh lain adalah situasi krisis kesehatan global, yaitu pandemi Covid-19. Pandemi ini tidak bisa dielakkan telah menempatkan berbagai negara dalam situasi yang sama. Berbeda dengan masalah virus sebelumnya (misalnya, Ebola), pandemi Covid-19 dialami oleh semua negara di dunia. Akibatnya, semua negara merespon pandemi itu dengan menutup pintu internasional mereka. Bahkan pandemi yang tinggi di beberapa negara menyebabkan negara tertentu melarang lalu lintas fisik ke dan dari negara tertentu itu.Â
Keputusan unilateral itu pasti akan diprotes jika dilakukan dalam situasi internasional yang normal. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan itu bisa dipahami secara internasional sebagai akibat dari kebijakan perlindungan berbagai negara terhadap Covid-19.
2. Hukum internasional
Pada isu-isu tertentu, hukum internasional berlaku dan menuntut berbagai negara untuk comply atau patuh dan menjalankannya. Kesepakatan berbagai negara terhadap UNCLOS menuntut banyak negara memiliki respon yang sama terhadap klaim sepihak (unilateral) pemerintah China di Laut China Selatan (LCS). Negara-negara, seperti Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam memprotes klaim China melalui kebijakan nine-dash line. Keputusan Mahkamah Internasional mengakui klaim Filipina menguatkan berbagai negara itu untuk menentang kebijakan China di LCS.
Hukum atau norma internasional menjadi dasar berbagai negara untuk menunda pengakuan meraka terhadap pemerintahan baru di Afghanistan. Penghormatan kepada hak azasi manusia, khususnya perempuan, manjadi representasi hukum internasional yang harus ditaati oleh pemerintahan Taliban di negara itu. Situasi itu juga dialami oleh kelompok militer di Myanmar yang merebut pemerintahan demokratis hasil pemilu 2020 melalui kudeta militer di awal Februari 2021.
3. Organisasi internasional
Berbagai keputusan organisasi internasional (OI) dapat berlaku sebagai kesepakatan internasional yang dibuat oleh berbagai negara yang menjadi anggota organisasi itu. Organisasi internasional itu misalnya: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai OI di bawahnya, termasuk berbagai organisasi di kawasan tertentu (African Union/AU, ASEAN, EU, NATO, SAARC, dan seterusnya). Keputusan itu dapat berbentuk ketentuan bersama atau sangsi atau boikot terhadap berbagai peristiwa internasional.Â
Dalam banyak kasus di PBB, rencana beberapa negara untuk memberlakukan sangsi atau boikot mendapat tantangan melalui veto dari negara lain di Dewan Keamanan (DK) PBB. Rusia, AS, dan China biasanya dikenal sebagai negara yang banyak memberikan veto terhadap rencana pemberlakuan sangsi terhadap sebuah negara, misalnya Israel.
Anggota-anggota dari OI itu membuat dan harus mematuhi keputusan yang dibuatnya. Contohnya adalah Bali Process yang beranggotakan berbagai negara yang menjadi 'pengirim', transit, dan penerima pengungsi. Anggota lainnya adalah organisasi internasional, seperti International Organisation for Migration (IOM). Sebagai sebuah kesepakatan internasional, Bali Process mengatur negara-negara dalam isu pengungsi yang biasanya berkeinginan memiliki kehidupan lebih baik di Australia.
4. Aliansi pertahanan
Pembentukan aliansi pertahanan global dapat menjadi dasar bagi PLN sebuah negara. Contoh terakhir adalah aliansi antara Australia, United Kingdom, dan United States atau AUKUS. Tujuan utama aliansi pertahanan itu adalah menghadapi ancaman keamanan global dari China di Indo-Pasifik. Sebagai sebuah kawasan strategis, ketiga negara itu membentuk kerjasama pertahanan-keamanan agar dapat mendominasi kawasan itu dan mampu meredam provokasi militer China. Salah satu caranya adalah membangun kapal selam nuklir untuk Australia.
Kebijakan segitiga pertahanan itu tentu saja menimbulkan respon dari negara-negara lainnya. Sebagai anggota Five Power Defence Arrangement (FPDA), kebijakan luar negeri Singapura dan Malaysia cenderung mendukung aliansi AUKUS itu. Sementara itu, Kamboja dan Laos cenderung berpihak kepada China. Sedangkan Indonesia mengambil posisi hati-hati, jika bukan netral.Â
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa faktor internasional ---yaitu AUKUS--- telah menimbulkan perbedaan PLN dari berbagai negara, termasuk negara-negara anggota ASEAN. Hingga saat ini, ASEAN belum menyampaikan sikap bersama terhadap AUKUS itu.
 5. Kerjasama ekonomi
Selain kondisi lingkungan politik (pertahanan dan keamanan), struktur global juga mendemonstrasikan berbagai kerjasama ekonomi di berbagai kawasan atau multilateral. Berbagai kerjasama ekonomi kawasan dapat ditemukan di kawasan Amerika Utara melalui NAFTA, Asia Tenggara (ASEAN Economic Community), Asia Pasifik (APEC), Africa (African Union/AU), Eropa (Uni Eropa), wilayah Eurasian (Eurasian Economic Union/EaEU), dan lain-lain.Â
Kerjasama ekonomi juga diinisiasi oleh beberapa negara untuk menunjukkan kepemimpinan ekonominya di kawasan tertetntu. Amerika Serikat pernah menginisiasi kerjasama ekonomi melalui Trans Pacific Partnership (TPP), namun Presiden Trump memutuskan keluar dari TPP itu. Sedangkan China berhasil membentuk kerjasama Regional Comprehensive Economic Partnership pada akhir 2020 lalu.
Prinsip utama dari kerjasama itu adalah menciptakan peluang-peluang ekonomi melalui kerjasama kawasan di tengah meningkatnya kompetisi global. Namun demikian, kerjasama ekonomi juga dimaksudkan sebagai upaya bersama untuk mengurangi potensi konflik di antara berbagai negara.
Sebuah negara cenderung tertarik untuk bergabung di organisasi kerjasama ekonomi itu sebagai upaya untuk meningkatkan peluang ekonomis bagi pembangunan domestiknya. Selain sebagai upaya mengejar kepentingan nasionalnya, kerjasama itu juga dapat menjadi salah satu bentuk dari keterbukaan sebuah negara terhadap produk-produk impor dari negara lain, dan sebaliknya.
Berbagai fenomena internasional menuntut sebuah negara untuk menunjukkan sikapnya. Sikap sebuah negara dapat berbentuk dukungan, penolakan, atau netral. Contoh paling kontemporer adalah sikap berbagai negara bersikap mengakui atau menunda pengakuannya terhadap pemerintahan baru Taliban di Afghanistan. Demikian juga, pengaruh faktor internasional terhadap sikap negara-negara anggota ASEAN dalam menanggapi pemerintahan militer di Myanmar.
Dengan berbagai contoh di atas, maka sebuah negara harus memiliki sikap atau posisi terhadap berbagai perkembangan situasi di luar negaranya internasionalnya. Faktor-faktor internasional atau eksternal ---seperti situasi global, organisasi dan hukum internasional, aliansi pertahanan, dan kerjasama ekonomi--- akan menjadi pertimbangan mengenai sikap negara tersebut yang dikenal sebagai politik atau kebijakan luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H