Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pengalaman Indonesia Membangun Perdamaian di Afghanistan pada 2018

7 September 2021   21:29 Diperbarui: 8 September 2021   07:46 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanggapi pemerintahan Taliban di Afghanistan, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan wait and see terhadap perkembangan di negeri itu. 

Kebijakan Indonesia itu muncul setelah Menlu Retno bertemu dengan perwakilan Taliban kantor Biro Politik Taliban di Doha, Qatar, pada akhir Agustus lalu. 

Pandangan Indonesia seperti itu bisa dipahami mengingat hingga saat ini Taliban belum membuat pengumuman resmi mengenai terbentuknya pemerintahan baru di Afghanistan.

Seperti diketahui bersama, kelompok Taliban menguasai negeri itu setelah merebut ibu kota Kabul dan hampir semua wilayan Afghanistan. Setelah 20 tahunan, melakukan perjuangan gerilya, Taliban mengisi kekosongan pemerintahan yang ditinggalkan oleh Presiden Ashraf Ghani. 

Penguasaan Taliban di hampir semua wilayah di Afghanistan menjadi lebih mudah berkat perjanjiannya dengan Amerika Serikat (AS) di masa pemerintahan Presiden Donald Trump di 2020. 

Perjanjian itu mengatur jaminan keamanan dari Taliban terhadap penarikan mundur semua pasukan AS dari Afghanistan. Kekosongan pasukan penjaga pemerintahan Ghani menjadi momentum bagi kelompok Taliban berkuasa di negeri itu.

Melihat perkembangan tersebut berbagai negara, termasuk Indonesia, berinisiatif mengadakan pertemuan Doha itu. Upaya-upaya perdamaian diharapkan dapat memberikan berbagai pilihan solusi terhadap kompleksitas persoalan di Afghanistan paska Taliban berkuasa.

Selain tidak tergesa-gesa mengakui pemerintahan Taliban, Indonesia meminta kelompok Taliban menjalankan tiga harapan, yaitu pemerintahan yang inklusif, penghormatan pada hak-hak perempuan, dan memastikan Afghanistan tidak menjadi sarang teroris. 

Dua harapan terakhir merupakan tuntutan internasional agar pemerintahan baru mengubah citranya sebagai kelompok radikal yang cenderung menggunakan kekerasan kepada pihak lain. Sedangkan, tuntutan mengenai pemerintahan yang inklusif dapat dikatakan merupakan prasyarat utama bagi perdamaian di Afghanistan.

Pertemuan di Doha setidaknya membuka komunikasi antara Indonesia dengan Taliban Afghanistan. Pengalaman Indonesia dalam upaya mendamaikan berbagai pihak yang bersengketa di Afghanistan di 2018 dapat menjadi modalitas diplomasi perdamaian Indonesia.

Sumber: Tempo
Sumber: Tempo

Kunjungan Presiden Jokowi

Upaya damai itu diawali dengan kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Kabul, Afghanistan, bertemu Presiden Afghanistan Ashraf Ghanie. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pintu masuk bagi diplomasi perdamaian Indonesia dalam rangka menyelesaikan konflik di negara itu.

Kunjungan itu memenuhi permintaan Ketua High Peace Council Afghanistan, Mohammad Khalili, ketika bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat (Setkab.go.id, 21/11/2017). Bagi Khaliali, pengalaman Indonesia dalam hal toleransi dan multikultural sangat penting untuk membangun perdamaian di Afghanistan.

Setelah kunjungan Presiden Jokowi, pemerintah Indonesia mengirimkan misi perdamaian ke Kabul. Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dan Menlu Retno Marsudi memimpin misi perdamaian dan menghadiri Konferensi Proses Kabul ke-2 pada 28 Februari 2018.

Kedua kunjungan itu menegaskan komitmen serius Indonesia membangun perdamaian (peace building) di Afghanistan. Komitmen Indonesia diwujudkan secara kongkret dalam bentuk berlanjutnya pembangunan kompleks Indonesia Islamic Centre (IIC) di Kabul.

Pembangunan itu juga meliputi fasilitas kesehatan yang dibangun pada pada musim semi 2018 untuk melengkapi Masjid As-Salam yang telah digunakan masyarakat Afghanistan sejak tahun 2015. Kompleks IIC itu menjadi simbol atau monumen penting bagi persahabatan antara masyarakat Indonesia dan Afghanistan.

Diplomasi Perdamaian

Keterlibatan Indonesia sebagai mediator memang telah diminta secara resmi oleh pemerintah Afghanistan ketika Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengunjungi Indonesia pada April 2017 lalu. Presiden Jokowi menerima Majelis Tinggi Perdamaian Republik Afghanistan di Istana Presiden Bogor pada November 2017.

Bahkan, pada 14 Desember 2017, Wakil Presiden II Afghanistan Mohammad Sarwar Danesh menemui Wapres Jusuf Kalla. Afghanistan meminta bantuan untuk membangun perdamaian dan menjadikan Indonesia sebagai role model bagi upaya memelihara perdamaian di Afghanistan.

Indonesia berinisiatif membangun perdamaian di Afghanistan melalui Pertemuan Ulama Internasional di Jakarta pada akhir Maret 2018. Pemerintahan Jokowi juga berkomitmen mendukung kesejahteraan Afghanistan melalui peningkatan berbagai kegiatan ekonomi dan kemasyarakatan, meliputi pemberdayaan perempuan, pengembangan UKM, dan tata kelola pemerintahan. 

Yang menarik adalah bahwa upaya peace building Indonesia mendorong kesiapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembangunan infrastruktur di Afghanistan. Sebaliknya, banyak pengusaha Afghanistan mengunjungi Trade Expo Indonesia di Jakarta pada 2017.

Kompleksitas Konflik

Landasan politik bagi misi perdamaian Indonesia di Afghanistan adalah pertemuan Presiden Jokowi dengan Ketua Dewan Perdamaian Afghanistan Karim Khalili di Istana Haram Sarai (Wisma Negara), Kabul, Afghanistan, pada 29/1/2018. 

Pertemuan itu membicarakan langkah-langkah detail yang harus dilakukan ke depan atau roadmap, seperti penyelenggaraan pertemuan ulama internasional pada Maret 2018.

Ide Indonesia menyelenggarakan Pertemuan Ulama Internasional itu adalah untuk meneguhkan komitmen Indonesia sendiri dalam membantu terwujudnya perdamaian melalui rekonsiliasi di Afghanistan. 

Rekomendasi Indonesia adalah agar komite ulama tiga negara dibentuk dalam upaya untuk menyelesaikan konflik Afghanistan. Sebuah komite ulama tripartit (tiga negara) antara Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia diatur dan dijalankan dalam bidang ini.

Namun demikian, upaya perdamaian Indonesia melalui rekonsiliasi diyakini tidak akan semudah membalik telapak tangan. Secara teori, ide rekonsiliasi yang digagas Indonesia atas persoalan di Afghanistan merupakan ide yang baik. Namun demikian, pelaksanaannya sangat sulit, bahkan dapat muncul faktor-faktor tidak terduga.

Di tingkat domestik, konflik 40 tahun lebih di Afghanistan telah melibatkan berbagai faksi politik. Masing-masing faksi saling memperebutkan dominasi atas wilayah-wilayah tertentu di Afghanistan. Akibatnya, hubungan di antara faksi-faksi itu selalu tegang dan konfliktual selama bertahun-tahun.

Selain itu, konflik Afghanistan memiliki dimensi internasional yang kental. Negara-negara blok Barat dan kontra-Barat juga memiliki kepentingan untuk mengendalikan Afghanistan, terutama paska-runtuhnya pemerintahan Taliban di tahun 2000-an. 

Kesulitan lainnya adalah kelompok Taliban tidak memberikan persetujuannya mengikuti proses perdamaian yang digagas Indonesia itu. Kenyataan ini menjadi ganjalan penting bagi keberhasilan penyelesaian damai di Afghanistan.

Catatan Akhir

Kondisi sekarang menuntut partisipasi aktif kelompok Taliban setelah berhasil merebut kekuasaan pemerintahan di Kabul. Taliban harus menyesuaikan diri sebagai kelompok utama yang menyediakan ruang-ruang bagi rekonsiliasi berbagai kelompok di negara di Asia Tengah itu. Kelompok Taliban bukan lagi out-group, namun menjadi in-group dalam perdamaian di negara itu.

Dalam konteks itulah, pemerintah Indonesia mencoba membangun komunikasi dengan pihak Taliban di Doha, Qatar. Walaupun insiatif perdamaian Indonesia di masa lalu tidak melibatkan kelompok Taliban, bentuk-bentuk rekonsiliasi melalui berbagai kerja sama ekonomi dan kemasyarakatan perlu dilakukan lagi untuk pemberdayaan masyarakat Afghanistan.

Optimisme perdamaian di Afghanistan tetap perlu didengungkan, walaupun potensi kegagalan harus tetap disadari dan diupayakan untuk diantisipasi. Tanpa partisipasi aktif dari kelompok Taliban, perdamaian di Afghanistan bakal sulit diwujudkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun