Perjuangan European Super League (ESL) menggantikan Champions League meredup lagi, namun tidak hilang. Nyala lilin seolah mengecil, namun tetap ada. Suaranya seperti menjauh, tetapi gaungnya tetap terdengar sayup-sayup.
Meski begitu, hingga sekarang tidak begitu jelas mengenai pangkal utama dari munculnya ESL ini. Apakah karena berkurangnya duit klub gegara laga tanpa penonton, perilaku moral hazard dari pejabat UEFA, egoisme-ambisi individu, atau ada penyebab lainnya? Tidak begitu jelas memang.Â
Namun yang pasti, ada persoalan di antara para pemangku kepentingan sepakbola di Eropa itu. Ada konflik kepentingan.Â
Mereka adalah otoritas UEFA, pemilik klub, dan penonton. Otoritas UEFA itu bisa diibaratkan sebagai pemerintah; pemilik klub bisa seperti oligarki sepakbola; dan, penonton dapat dianggap sebagai rakyat.
Pertarungan politik antara ketiga kelompok kepentingan itu yang sedang berlangsung. Dunia sepakbola di kontinen Eropa memang sedang digonjang-ganjing. Pandemi ternyata berkepanjangan dan tidak menentu ujungnya.Â
Pada awalnya, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menghentikan semua laga. Tidak lama kemudian, laga baku bola itu boleh dijalankan walau tanpa penonton. Gaduh sementara karena sepakbola tanpa penonton itu ibarat masakan tanpa garam.Â
Akhirnya, laga bola tetap digelar walau cuma didominasi tempik sorak dan perintah dari pelatih dan pemain lain dari pinggir lapangan hijau. Menjelang kompetisi domestik di berbagai negara berakhir dengan kandidat juara liga domestik yang makin nyata, ESL pun menyembul. ESL langsung menohok kasta tertinggi liga bola di benua biru itu, Liga Champions.
Akibatnya hubungan memanas antara FIFA-UEFA dan 12 klub elit Eropa yang merupakan pendiri ESL. Lalu, para penonton juga nimbrung di dalam pertarungan kepentingan itu. Beberapa hari kemudian klub-klub Inggris menarik dukungan terhadap ESL.
Semua pihak menyajikan pandangannya, termasuk akibatnya terhadap masa depan sepakbola di Eropa. Kritik dan argumentasi pun dibabarkan. Ancaman 12 klub elit beserta semua manfaat ESL tidak tanggung-tanggung mengancam kemapanan UEFA selama ini.Â
Ini semacam kudeta merayap. Ide ESL ini pelan tapi pasti dapat terwujud, jika UEFA tetap bersikap seperti selama ini.
Bayangkan saja jika ESL jadi digelar dengan sponsor utama Lembaga Keuangan dari Amerika Serikat, JP Morgan. JP Morgan sudah siap  mengglontorkan dana 61,2 triliun Rupiah untuk kompetisi ESL sebagai solusi pemulihan ekonomi bagi klub-klub itu di tengah pandemik ini.
Besaran nominal itu ternyata empat kali lipat dari hadiah Liga Champions. Tiap klub ESL bisa menangguk untung hingga 5 triliun Rupiah. Jumlah yang amat besar di tengah kesulitan ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini. Tidak dapat disalahkan jika ke-12 klub-klub itu begitu tergiur dengan potensi untung besar itu dari ESL. Masih ada lebih banyak alasan lain mengapa klub-klub elit itu mendukung ESL.
Sementara itu, UEFA sangat jelas kebakaran jenggot. Otoritas sepakbola di benua Eropa itu secara jelas menolak ide ESL. UEFA bersama dengan federasi sepakbola Inggris, Spanyol, dan Italia, mengecam gagasan ESL memisahkan diri dan membentuk kompetisi baru.Â
Ancaman pun dibeberkan UEFA jika ESL memaksa digelar. Berbagai kemungkinan sanksi bagi klub pendukung dan para pemainnya ditampilkan para punggawa UEFA. Klub-klub yang bergabung dengan ESL dapat disanksi mengikuti aturan kompetisi dan legal.
Dari denda hingga larangan mengikuti kompetisi domestik di negara asal. Larangan mengikuti kompetisi yang diorganisir UEFA dan FIFA (Piala Dunia Antar-Klub). Pemain dari klub - klub Liga Super Eropa juga berpotensi dilarang membela tim nasional masing-masing.
Ancaman lain datang dari FIFA. ESL sudah dianggap ilegal karena tidak direstui FIFA. Akibatnya, setiap pemain klub yang mengikuti kompetisi ESL dianggap ilegal dan klub itu dinyatakan bukan lagi anggota FIFA.Â
Sementara itu, para penonton dan fans pendukung klub-klub itu juga memprotes ESL. Mereka lebih menganggap kepentingan pemilik klub sebagai alasan utama. Jika sanksi UEFA diberlakukan, penonton juga rugi. Walau masih bisa menonton klub-nya di ESL, namun klub-klub itu tidak lagi berlaga di kompetisi lainnya, termasuk domestik.
Ada beberapa pelajaran penting dari konflik kepentingan di antara UEFA (Liga domestik dan FIFA), klub dan tokoh pendukung ESL, dan penonton.
1. Kemunculan ESL dan para pendukungnya telah menjadi ancaman baru bagi UEFA. Kritik ESL terhadap otoritas sepakbola UEFA memang tidak harus berujung pada pembentukan kompetisi baru. ESL bisa menjadi penyeimbang baru bagi dominasi UEFA yang tanpa lawan dalam mengatur sepakbola di kawasan Eropa.
2. Masalah akut di UEFA berkaitan dengan moral hazard dari para pejabatnya harus segera diselesaikan. UEFA harus pula mendengar kritik dan masukan kelompok-kelompok lain dari stakeholders sepakbola di Eropa.
3. Kepentingan penonton tidak bisa dilupakan begitu saja. Laga bola tanpa penonton di sepanjang pandemi ini harus menyadarkan para pemilik kepentingan lainnya mengenai arti penting penonton.Â
Penonton tidak sekedar kerumunan tak terorganisir dan nir-bentuk. Sebaliknya, kehadiran penonton tetap diperlukan dengan perannya yang berbeda bagi perkembangan sepakbola yang membumi.
Hingga hari ini, gaung ESL masih ada walau telah dikecam dan diancam berbagai pihak. Para pendukung ESL masih ada dan tetap bergerila. Mereka mungkin menunggu momentum lain. Kudeta tidak gagal, namun belum mewujud.Â
Di sisi lain, UEFA perlu mawas diri dari kemapanan selama ini. Ide ESL ini bagaimana pun juga merupakan bukti nyata kelemahan UEFA selama ini. Kelemahan yang harus segera dicari solusinya.Â
Tanpa solusi segera, selama itu pula gagasan ESL akan makin banyak mendapat dukungan. Potensi kudeta sepakbola di Eropa pun bakal muncul lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H