Besaran nominal itu ternyata empat kali lipat dari hadiah Liga Champions. Tiap klub ESL bisa menangguk untung hingga 5 triliun Rupiah. Jumlah yang amat besar di tengah kesulitan ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini. Tidak dapat disalahkan jika ke-12 klub-klub itu begitu tergiur dengan potensi untung besar itu dari ESL. Masih ada lebih banyak alasan lain mengapa klub-klub elit itu mendukung ESL.
Sementara itu, UEFA sangat jelas kebakaran jenggot. Otoritas sepakbola di benua Eropa itu secara jelas menolak ide ESL. UEFA bersama dengan federasi sepakbola Inggris, Spanyol, dan Italia, mengecam gagasan ESL memisahkan diri dan membentuk kompetisi baru.Â
Ancaman pun dibeberkan UEFA jika ESL memaksa digelar. Berbagai kemungkinan sanksi bagi klub pendukung dan para pemainnya ditampilkan para punggawa UEFA. Klub-klub yang bergabung dengan ESL dapat disanksi mengikuti aturan kompetisi dan legal.
Dari denda hingga larangan mengikuti kompetisi domestik di negara asal. Larangan mengikuti kompetisi yang diorganisir UEFA dan FIFA (Piala Dunia Antar-Klub). Pemain dari klub - klub Liga Super Eropa juga berpotensi dilarang membela tim nasional masing-masing.
Ancaman lain datang dari FIFA. ESL sudah dianggap ilegal karena tidak direstui FIFA. Akibatnya, setiap pemain klub yang mengikuti kompetisi ESL dianggap ilegal dan klub itu dinyatakan bukan lagi anggota FIFA.Â
Sementara itu, para penonton dan fans pendukung klub-klub itu juga memprotes ESL. Mereka lebih menganggap kepentingan pemilik klub sebagai alasan utama. Jika sanksi UEFA diberlakukan, penonton juga rugi. Walau masih bisa menonton klub-nya di ESL, namun klub-klub itu tidak lagi berlaga di kompetisi lainnya, termasuk domestik.
Ada beberapa pelajaran penting dari konflik kepentingan di antara UEFA (Liga domestik dan FIFA), klub dan tokoh pendukung ESL, dan penonton.
1. Kemunculan ESL dan para pendukungnya telah menjadi ancaman baru bagi UEFA. Kritik ESL terhadap otoritas sepakbola UEFA memang tidak harus berujung pada pembentukan kompetisi baru. ESL bisa menjadi penyeimbang baru bagi dominasi UEFA yang tanpa lawan dalam mengatur sepakbola di kawasan Eropa.
2. Masalah akut di UEFA berkaitan dengan moral hazard dari para pejabatnya harus segera diselesaikan. UEFA harus pula mendengar kritik dan masukan kelompok-kelompok lain dari stakeholders sepakbola di Eropa.
3. Kepentingan penonton tidak bisa dilupakan begitu saja. Laga bola tanpa penonton di sepanjang pandemi ini harus menyadarkan para pemilik kepentingan lainnya mengenai arti penting penonton.Â
Penonton tidak sekedar kerumunan tak terorganisir dan nir-bentuk. Sebaliknya, kehadiran penonton tetap diperlukan dengan perannya yang berbeda bagi perkembangan sepakbola yang membumi.