Hari Minggu ini, kisah mas Dab berlanjut dengan jalan-jalan menaiki si Pitung (sang motor Honda C70) ke Ambalat. Itu nama jalan di daerah dekat rumahnya. Di situ ada warung soto enak banget dan jadi tempat kumpul-kumpul dulu sebelum pandemi. Sekarang warung itu masih ada, walau pembeli jauh berkurang.
Dari jalan Ambalat itu, mas Dab bercerita soal konflik Ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Cerita lama tapi model konfliknya bersifat siber. Mungkin konflik itu masih sesuai dengan konteks revisi UU ITE dan hasil survei Microsoft soal perilaku netizen Indonesia.
###
Minggu pagi tadi kebetulan mas Dab sendirian di rumah. Sang istri menginap di rumah bapak-ibunya. Termangu tanpa teman di pagi hari, mas Dab bingung mau ngapain. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengajak si Pitung jalan-jalan keliling kampung.
Setelah sarapan seadanya alias nasi krupuk plus kecap, mas Dab memulai perjalanan Minggu pagi dengan hati lebih gembira. Sambil nyetarter motor, dia merasa terengah nafasnya. Ah ini pasti gara-gara perut membuncit.
Tiap hari mas Dab sudah olah raga berjalan kaki di sekitar rumah. Mungkin perlu nambah beban olah raganya. Apa ya perlu olah raga nggowes naik sepeda atau lari pagi atau jalan kaki saja seperti selama ini ya? Pikiran melayang-layang, tanpa perlu menemukan jawabannya untuk setiap pertanyaan.
Si Pitung sudah membawa mas Dab melewati Jalan Ambalat. Waduh ... nama jalan ini mengingatkannya pada konflik Indonesia dan Malaysia beberapa tahun yang lalu.
Sarapan seadanya tadi membuat perutnya masih keroncongan. Mampirlah mas Dab di warung soto di jalan Ambalat. Pikiran mas Dab melayang ke tulisannya di awal 2000an tentang konflik Ambalat. Supaya agak rapi, mas Dab meminta saya menuliskan cerita Ambalat ini menjadi tiga bagian, yaitu letak geografis Ambalat dan bentuk perang siber (cyber atau net war).
###
Pertama, letak Ambalat
Yang pertama ini, mas Dab menceritakan pengalamannya melihat beberapa kelompok masyarakat di Indonesia dalam menyikapi konflik Ambalat. Sikap ini sangat berkaitan dengan letak atau bentuk dari Ambalat.
Ketidaktahuan atau kurangnya informasi mengenai hal ini akan menimbulkan keprihatinan mengenai sikap berlebihan atau tergesa dari beberapa kelompok di Indonesia terhadap isu ini pada saat itu.
Sebelum masuk ke cerita inti mengenai konflik Ambalat, mas Dab mengajak kita mengetahui letak Ambalat yang menjadi sumber konflik antara Indonesia dan Malaysia.
Ambalat adalah "blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi. Blok ini terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia." Jadi, Ambalat adalah blok dasar laut, bukan daratan atau pulau.
Pengetahuan ini sebenarnya sangat sederhana, namun kepentingan-kepentingan tertentu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang lucu dan sekaligus miris.
Kelucuan berasal dari protes berbagai kelompok yang sok nasionalis membela Indonesia. Mereka protes di depan Kedutaan besar Malaysia Di Jakarta. Mereka berteriak-teriak meminta pemerintah Indonesia mengirimkan mereka ke Ambalat untuk berperang melawan Malaysia. Kelompok pemuda lainnya yang tidak bisa berenang malah ingin menduduki Ambalat dan “berkemah” disana.
Orang-orang itu tidak tahu bahwa Ambalat itu bentuknya perairan. Mau dikirim ke Ambalat? Diterjunkan ke Ambalat? Waduh... Kelompok-kelompok itu sangat bersemangat sehingga malah lucu...hehehehe...
Kurangnya pengetahuan geografis tentang Ambalat sebagai wilayah perairan ini juga membuat miris. Apa ya kata lain dalam Bahasa Indonesia? Ngenes? Mungkin prihatin ya? Iya membuat prihatin.
Mas Dab prihatin amat. Mereka adalah sekelompok pemuda dari sekolah milik lembaga pertahanan yang ternyata tidak tahu letak geografis Ambalat. Padahal mereka adalah calon pemimpin di bidang pertahanan di negara +62 ini. Untung saja, mereka datang di seminar itu, sehingga menjadi lebih memahami duduk perkara dan letak persoalan Ambalat.
###
Kedua, bentuk konflik
Satu cerita selesai, satu mangkok soto habis tandas...mas Dab melanjutkan ceritanya. Kebetulan ada mas Ndes datang dan sekalian nimbrung mendengarkan kisah Ambalat itu.
Wilayah Ambalat menjadi sumber konflik bagi Indonesia dan Malaysia. Bentuk konfliknya tidak sekedar baku-klaim antara kedua pemerintah, namun ada 'perang' di antara 'warga' kedua negara itu. Menurut mas Dab, kedua kata itu perlu diberi tanda kutip karena pengertiannya berbeda dari yang biasanya diketahui kebanyakan orang.
Perang itu bukan melalui pengerahan tentara nasional dengan berbagai persenjataan dan saling menyerang wilayah masing-masing negara. Bukan seperti itu. 'Perang' itu dalam bentuk siber. Medan perang tidak berbebtuk lautan atau daratan, tapi wilayah siber (cyber space) atau ruang-ruang di dunia maya atau internet.
Pelaku cyber war adalah warganegara di internet atau yang dikenal dengan nama netizen atau warganet. Netizen ini kadang-kadang bukan warganegara negara yang terlibat konflik, namun bisa saja berada di Indonesia dan Malaysia. Kemungkinan lain adalah mereka juga bisa menggunakan internet protocol address (IP) negara lainnya.
Selain itu, sasaran dari Ambalat netwar adalah websites milik warganegara, perusahaan, kelompok organisasi atau pemerintah dari negara yang dianggap lawan atau musuh. Ada lebih dari 10 website milik masing-masing negara yang diserang masing-masing netizen.
Serangan ke website itu berbentuk, misalnya, deface. Akibatnya, halaman pertama sebuah website memiliki bentuk atau gambar yang berbeda dari yang sebenarnya. Serangan seperti ini juga terjadi beberapa kali pada perilaku Malaysia yang cenderung mengklaim 'produk' budaya Indonesia.
Model perang siber ini yang terjadi di antara netizen yang membela kedua negara. Sementara itu, kedua pemerintahan tetap menempuh jalur diplomasi bilateral untuk penyelesaian krisis itu.
Pada saat itu ada kekhawatiran bahwa netwar di antara netizen dapat merembet atau mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara. Untung saja, kemungkinan buruk itu tidak terjadi di antara pemerintah Indonesia dan Malaysia.
###
Cerita mas Dab berlanjut ke pepo SBY. Di masa pemerintahannya, ada perang siber juga dengan Australia.
Situasi perang siber juga berlangsung ketika netizen Indonesia membalas tindakan penyadapan pemerintah Australia. Melalui agen intelijennya ASIO, Australia menyadap telepon genggam Presiden SBY dan beberapa pentinggi pemerintahan Indonesia pada waktu itu. Para netizen menyerang websites ber-akhiran .au.
###
Kaitannya dengan UU ITE, apakah perilaku itu perlu diatur di UU? Penyerangan websites seperti hacktivisme dan lain-lain merupakan bentuk perilaku menyimpang atau termasuk di dalam hasil survei Microsoft itu?
Cerita-cerita itu membuat mas Dab kecapekan, nafasnya ngos-ngosan. Yang pasti, Ambalat yang menjadi sumber konflik itu berbeda dengan Jalan Ambalat tempat mas Dab njajan atau beli nasi soto itu.
Setelah membayar soto itu, mas Dab berjalan kaki pulang ditemani mas nDes. Sudah separo jalan mereka bergurau di jalan... lalu, mas Dab kaget... Lho si Pitung mana? Perasaan tadi ke warung soto naik motor itu. Mas nDes ketawa-ketawa melihat temannya sudah mulai lupa hartanya...
Mereka pun kembali ke Jalan Ambalat mengambil si Pitung:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H