Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 lalu telah memancing respon internasional. Berbagai negara mengecam tindakan militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Respon internasional itu pada awalnya berbentuk pernyataan diplomatik dari berbagai negara. Presiden, Perdana Menteri, Paus, Sekretaris Jenderal PBB, dan berbagai organisasi internasional hak azasi manusia (HAM) menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kudeta militer dan nasib demokrasi di Myanmar.
Sementara itu, perkembangan di Myanmar menunjukkan semakin kerasnya respon militer terhadap demonstrasi massa. Kecenderungan itu memberikan indikasi mengenai bahaya kudeta militer terhadap masa depan demokrasi di negeri itu.
Kudeta itu segera menutup liberalisasi politik di negeri Pagoda Emas itu. Liberalisasi bertahap sebenarnya telah dimulai pada 2010. Transisi menuju demokrasi itu mengarah pada pemilihan umum pada 2015 dan pelantikan pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi pada 2016.
Beberapa hari setelah melakukan kudeta, pihak militer melakukan penggerebekan (termasuk Kantor NLD Di Yangon) dan melakukan lebih banyak penangkapan (termasuk warganegara asing asal Australia) di tengah aksi protes dan demonstrasi yang terus berlanjut.Â
Seorang demonstran perempuan bahkan tertembak di kepala  (09/02) ketika polisi berupaya membubarkan pengunjuk rasa menggunakan meriam air, peluru karet dan peluru tajam.
Beberapa negara menaikkan tingkat kecamannya untuk menekan militer Myanmar. Kecaman itu tidak lagi dalam bentuk pernyataan diplomatis semata, namun juga berbentuk semacam ancaman atau sanksi kepada pemerintahan militer Myanmar.
Dalam hubungan internasional, ada beberapa bentuk tekanan internasional, seperti sanksi atau boikot. Sanksi internasional merupakan tindakan yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap negara lain berdasarkan alasan-alasan tertentu, termasuk politik. Tindakan itu dilakukan secara unilateral (sepihak) atau multilateral (bersama negara-negara lain).
Dalam prakteknya, sanksi internasional mempunyai beberapa jenis. Beberapa sanksi yang biasanya dipraktekkan secara umum adalah sanksi diplomatik dan ekonomi. Sanksi diplomatik berupa protes diplomatik berupa penarikan duta besar, pengurangan atau penghapusan hubungan diplomatik, seperti Kedutaan besar (kedubes).
Jenis lainnya adalah sanksi ekonomi. Sanksi ini biasanya berbentuk pengurangan atau penghentian hubungan perdagangan pada sektor tertentu, seperti investasi, ekspor-impor, atau sektor persenjataan.
Dalam konteks tertentu, sanksi ekonomi bisa juga disebut sebagai tindakan boikot. Ada banyak bentuk boikot, misalnya tidak memakai, membeli barang atau produk dari negara atau produsen tertentu, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi.Â
Boikot ini biasanya diberlakukan sebagai bentuk protes atau pemaksaan terhadap suatu tindakan atau kebijakan yang berbeda atau tidak disukai.
Hingga hari ini, berbagai negara mulai melihat kembali bentuk-bentuk tekanan mereka terhadap Myanmar. Semakin keras tindakan militer Myanmar terhadap para demonstran telah menyebabkan beberapa negara mengancam menaikkan atau menambah sanksi mereka terhadap pemerintahan militer Myanmar.
Sanksi Internasional
Dari Amerika Serikat (AS), Presiden Joe Biden telah menyetujui perintah eksekutif (executive order) untuk menjatuhkan sanksi terhadap para pemimpin kudeta Myanmar, terutama kepada para pemimpin militer, keluarganya, dan bisnis yang terkait dengan mereka.
Pemerintah AS juga berencana melakukan pembekuan akses militer terhadap dana pemerintah Myanmar yang disimpan di AS senilai US$1 miliar atau Rp14 triliun. Meskipun demikian, AS tetap mendukung perawatan kesehatan, kelompok masyarakat sipil, dan bidan lain yang secara langsung menguntungkan rakyat Myanmar.
Sebelum AS dan negara-negara sekutunya menjatuhkan sanksi kepada Myanmar, Selandia Baru ternyata telah terlebih dahulu menangguhkan semua kontak tingkat tinggi dengan militer Myanmar. Pemerintah negeri Kiwi itu juga memberlakukan larangan perjalanan pada para pemimpin militer Myanmar.
Lebih lanjut, pemerintah Selandia Baru menambahkan program-program bantuan yang diberikan kepada Myanmar dipastikan tidak akan menguntungkan pihak militer. Program bantuan bernilai sekitar 42 juta dollar Selandia Baru atau sekitar Rp 42 miliar antara 2018 hingga 2021.
Sementara itu, perusahaan Jepang, Kirin, membatalkan kesepakatan joint venture dengan perusahaan Myanmar yang punya koneksi dengan militer Myanmar. Lalu, pengusaha Singapura, Lim Kaling, akan mencabut sahamnya dari perusahaan Myanmar untuk merespons kudeta.
Resiko Sanksi
Masih perlu waktu bagi negara-negara itu untuk menerapkan sanksi mereka. Belum diketahui juga sejauh mana efektifitas dari sanksi-sanksi itu. Ada empat hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pemberlakuan sanksi itu terhadap pemerintahan militer Myanmar.
Pertama, sanksi itu diharapkan tidak berdampak kepada nasib rakyat Myanmar dan etnis Rohingya. Negara-negara pemberi sanksi itu perlu mempertimbangkan kemungkinan dampak ini dipakai oleh pemerintah Myanmar sebagai meningkatkan posisi tawarnya. Memakai nasib rakyat atau etnis Rohingya sebagai tameng untuk melindungi dan menaikkan posisi tawarnya terhadap AS dan sekutunya.
Kedua, beberapa negara saja yang memberikan sanksi itu. Walaupun AS dan sekutunya memberikan sanksi ekonomi (dan mungkin politik), masih ada banyak negara tetangga di sekitar Myanmar yang masih ‘bersahabat’. Negara-negara anggota ASEAN tidak memberikan sanksi dan masih menempatkan Myanmar sebagai anggota ASEAN yang sama dengan sebelum kudeta.
Selain itu, hingga sekarang, tidak atau belum ada satu negara pun yang menerapkan sanksi diplomatik. Belum ada negara yang menarik duta besar-nya sebagai bentuk protes atau kecaman kepada mikiter Myanmar.
Ketiga, militer Myanmar tampaknya memiliki ‘pengalaman’ menghadapi tekanan internasional itu. Dari pernyataan protes atau kecaman hingga sanksi ekonomi telah dirasakan oleh Myanmar, khususnya kelompok militer yang berkuasa.Â
Bahkan kabarnya, beberapa jenderal Myanmar itu sudah berada di bawah sanksi AS yang diberlakukan pada tahun 2019 atas pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan hak asasi manusia kelompok minoritas lainnya.
Keempat, di sisi lain, kelompok militer Myanmar mempunyai perusahaan, seperti Myanmar Economic Holdings Limited dan Myanmar Economic Corp, dengan investasi meliputi sektor perbankan, permata, tembaga, telekomunikasi, dan pakaian. Kenyataan ini masih memungkinkan kelompok militer menjalankan pemerintahannya dengan menggunakan sumber daya yang dimikikinya sendiri. Faktor ini belum memasukkan kedekatan para jenderal Myanmar dengan Beijing yang memiliki hubungan tradisional dengan Myanmar selama ini.
Berbagai perkembangan di atas menunjukkan bahwa pemerintahan militer Myanmar tampaknya belum mendapatkan tekanan internasional yang mampu memaksanya bersikap lunak kepada kelompok sipil, termasuk para demonstran. Walaupun tekanan internasional diberlakukan, militer Myanmar masih leluasa menggunakan jalur-jalur diplomatik di luar AS dan negara-negara sekutunya.
Sumber: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H