Dalam pelaksanaan Polugri, kedua landasan itu bersifat tetap atau tidak berubah, termasuk prinsip atau doktrin bebas dan aktif. Setiap pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan 1945 harus menjadikan landasan dan prinsip itu dalam Polugri, tanpa ada perubahan.
Lalu, bagaimana prinsip Polugri atau PLNI bebas dan aktif merespon perubahan dalam hubungan internasional? Dalam hal ini, prinsip Polugri tetap bebas dan aktif, namun pelaksanaannya dapat menyesuaikan diri dengan konteks internasional yang berkembang. Perubahan struktur internasional dapat mempengaruhi politik luar negari yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan di Indonesia.
Perubahan Global
Kontekstualisasi polugri bebas dan aktif perlu didasarkan pada transformasi sistem internasional/global, aktor, dan ancaman keamanan. Pertama, sistem internasional bipolar telah digantikan multipolarisme. Bubarnya Uni Soviet dan berdirinya Rusia tidak serta merta menempatkan Rusia dalam posisi yang setara dengan Uni Soviet pada waktu itu. AS pun ternyata tidak lagi dalam posisi sebagaimana pada masa perang dingin.
'Karang' sebagai representasi negara superpower tidak lagi dua, yaitu AS & US atau Rusia. Yang muncul pada saat ini adalah banyaknya 'karang' sebagai pusat-pusat kekuatan global dengan karakteristik berbeda.
Kedua, aktor internasional/global tidak hanya negara. Peran negara bahkan diimbangi oleh aktor-aktor non-negara. Mereka juga telah menunjukkan peran dan pengaruh globalnya. Organisasi internasional (misalnya PBB, IMF) dan regional (UE, ASEAN), forum multilateral (G20), international non-government organization (Green Peace), dan individu (Bill Gates, Mark Zuckerber, atau Jack Ma) merupakan sebagian contoh dari aktor non-negara itu
Ketiga, ancaman keamanan telah berkembang dengan sumber pada negara dan non-negara. Selain itu, sifat multidimensional dan transnasional juga menyebabkan tantangan tidak lagi berbentuk fisik dan kasat mata. Ancaman keamanan dapat melintas batas negara tanpa dapat dideteksi dengan mudah.
Keempat, ancaman keamanan kontemporer tidak lagi bersifat fisik, namun juga non-fisik yang tidak kelihatan. Masalah kesehatan, seperti virus ebola dan corona (Covid-19) memberikan tantangan baru. Di satu sisi, setiap negara dituntut oleh kepentingan nasionalnya untuk melindungi warganegara-nya sendiri. Di sisi lain, negara-negara juga dituntut untuk tetap mempertahankan kerjasama multilateral demi mencegah persebaran penyakit itu melintasi batas-batas negara.
Beda Orientasi
Perubahan tatanan internasional itu menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan kebijakan atau politik luar negeri sebuah negara, termasuk Indonesia. Sejak pemerintahan Presiden Sukarno hingga Joko "Jokowi" Widodo, setiap pemerintahan memiliki orientasi Polugri atau PLNI yang berbeda. Perbedaan orientasi Polugri tersebut merupakan upaya sebuah pemerintahan dalam menanggapi struktur internasional yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Sukarno, orientasi Polugri lebih kental berorientasi ke Uni Soviet (US). Salah satu capaian penting pada masa itu adalah bantuan atau dukungan US bagi Angkatan Laut RI sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan laut terbesar di Asia pada masa itu. Orientasi itu juga mendorong Indonesia untuk keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Presiden Sukarno menyatakan 'Go to Hell with Your Aid" kepada AS, dan Indonesia menjadi penggagas gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement).
Pemerintahan Suharto lebih mengedepankan pemulihan hubungan dengan AS dan negara-negara Barat sebagai upaya membenahi perekonomian domestik. Dengan orientasi Polugri ini, pemerintahan Suharto tidak lagi menganggap US dan China sebagai aktor penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pada masa pemerintahan Suharto, aktivisme diplomasi Indonesia berjalan dengan baik dalam hubungan dengan berbagai negara, organisasi internasional, dan aktor-aktor ekonomi yang mendukung investasi dan pembangunan Indonesia.
Krisis ekonomi 1998 berlangsung hingga 2004, sehingga orientasi Polugri pemerintahan Indonesia pada saat itu lebih ditujukan pada pemulihan ekonomi domestik dengan cara membangun kepercayaan investor asing. Tiga pemerintahan pada masa itu, yaitu BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Sukarnoputri.