Apalagi bagi sebagian masyarakat, kearifan lokal sudah diangÂgap tidak relevan lagi. Dianggap kuno, ketinggalan zaman dan dianggap sekadar mitos beÂlaka. Kearifan lokal menjadi terpinggirkan atau hilang di tempat asalnya sendiri. Akibatnya, masyarakat seakan lupa dengan kebiasaan setempat yang sebenarnya berakar pada budaya setempat.
Contoh Kearifan Lokal
Berbagai daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang berbeda untuk mencegah atau mewaspadai bencana banjir. Pemanfaatan kearifan lokal di masing-masing daerah diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan mengurangi risiko bencana.Â
Di Jawa Tengah, misalnya, kearifan lokal mengenai tanda-tanda banjir bisa diketahui melalui beberapa cara, yaitu merasakan udara yang lebih dingin dibandingkan biasanya, debit air meningkat dan berwarna keruh, hujan deras dalam durasi yang cukup lama.Â
Selain itu, kearifan lokal juga bisa dalam bentuk ilmu titen mengenai kemungkinan bencana. Ilmu ini mungkin semacam early warning system yang sudah terbukti sangat membantu mengurangi dampak dari banjir. Contoh lain adalah penggunaan kentongan sebagai sistem peringatan dini. Di desa-desa, dulu kentongan merupakan alat komunikasi tradisional yang efektif. Jumlah ketukan pada kentongan dapat menjadi kode untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu sesuai kesepakatan masyarakat setempat. Kentongan juga bisa menjadi alat sederhana untuk merawat semangat gotong royong atau solidaritas sosial di antara warga masyarakat.
Di beberapa tempat lainnya, kearifan lokal dalam menÂcegah bencana dapat berbentuk syair dan nyayian yang berisi berbagai naÂsehat dari para leluhur atau pendahulu di masyarakat itu. Isi syair atau nyanyian itu adalah mengingatkan agar selalu mempersiapkan diri terjadinya bencana, seperti tsunami, gempa, dan banjir.
Hampir tiap masyarakat memiliki cara unik dan khas untuk mencegah bencana (mitigasi bencana).
Selain Kearifan Lokal
Selain berbagai kearifan lokal itu, pencegahan bencana banjir juga mengandalkan cara-cara umum berbasis pada aturan main bersama yang didukung oleh negara (top-down). Pemerintah mewujudkannya melalui berbagai kebijakan dan lembaga negara, dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah. Peran negara dalam penanggulangan bencana dilakukan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) beserta struktur di bawahnya (Badan Penanggulangan Bencara Daerah/BPBD) yang juga melibatkan kelompok-kelompok masyarakat.
Upaya-upaya pencegahan bencana banjir juga dilakukan dengan cara belajar dari pengalaman negara-negara lain. Beberapa pemerintah daerah melakukan studi banding ke luar negeri untuk belajar secara langsung mengenai mitigasi bencana banjir. Sejumlah kota di dunia sudah banyak yang mengalami permasalahan banjir seperti Jakarta saat ini. Kota-kota yang berhasil mengatasi banjir tentu patut dicontoh dan dipelajari, seperti Curitiba (Brasil), Kuala Lumpur (Malaysia), Tokyo (Jepang), Roterdam (Bekanda), dan Bangkok (Thailand).
Tantangan
Pertama, kearifan lokal biasanya melibatkan partisipasi semua anggota masyarakat sebagai aktor utama dalam mitigasi banjir. Selain itu, masyarakat juga diajak untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal, dimulai dari kesadaran individu dan bersama-sama mencegah datangnya bencaÂna banjir. Kesiapsiagaan terhadap bencana dimulai dari saya dan anda atau kita semua tanpa terkecuali. Partisipasi semua warga masyarakat menjadi bagian terpenting dari semagat gotong royong.
Kedua, Peran masyarakat tidak hanya terbatas pada kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi paska-bencana. Namun, perannya termasuk dalam kesiapsiagaan sebelum bencana banjir terjadi
Ketiga, kearifan lokal perlu dilestarikan dan diajarÂkan di sekolah-sekolah. Jika perlu sosialisasi kearifan lokal dimasukkan ke dalam kurikulum atau mata pelajaran muatan lokal.