Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontribusi Vaksin dalam Membangun Hegemoni Global China

17 Desember 2020   01:40 Diperbarui: 17 Desember 2020   03:20 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
manufacturaindependente.com

Pandemi dan vaksin Covid-19 memang tidak dapat disangkal telah menjadi pengubah permainan dalam hubungan internasional di 2020 ini, khususnya dalam ikut membangun hegemoni global China. Diplomasi masker dan vaksin seakan melengkapi berbagai upaya China meningkatkan kekuatan globalnya. Pengiriman vaksin Covid-19 buatan Sinovac Biotech Ltd. sebanyak 1,2 dosis ke Indonesia pada 06/12/2020 menjadi bukti awal keseriusan China. 

Vaksin bersama dengan kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), klaim Laut China Selatan, diplomasi masker, dan diplomasi vaksin, serta perdagangan bebas Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) telah menjadi aset-aset penting dalam upaya sistematis China membangun hegemoni global hingga Di penghujung 2020 ini.

Hingga kini, tidak ada negara yang meragukan kekuatan ekonomi dan militer China. Begitu kuatnya China, sehingga banyak negara harus berpikir ulang untuk hanya mendukung atau menolaknya saja. Dukungan atau penolakan terhadap China pun tidak bisa diberikan secara absolut atau hitam-putih. Beberapa negara menolak keras kehadiran militer atau perilaku militeristik China, tetapi juga terpaksa menerima tawaran investasi dan kerjasama ekonominya.

Menurut saya, ada dua faktor penting yang telah mendukung pembentukan hegemoni global China, yaitu faktor-faktor domestik dan internasional.

Faktor Domestik: Membangun Hegemoni
Negara hegemon (hegemonic state) adalah negara yang paling kuat dalam sistem hubungan internasional dan memiliki sarana untuk menjalankan dominasi pada sistemnya yang merupakan jaminan terbaik untuk tetap bertahan hidup dalam anarki internasional. Pada abad 19 ada negara hegemon Inggris (dikenal dengan nama Pax Britannica), abad 20 ada Amerika Serikat (AS) dengan sebutan Pax Americana). Dengan surutnya hegemoni AS, maka China berupaya mengisi kekosongan kekuasaan hegemonik itu.

China memiliki sarana untuk menjadi negara hegemon melalui berbagai sarana atau aset yang dimilikinya. Dominasi China dalam mengelola berbagai sarana atau aset akan mempermudah China mewujudkan diri sebagai negara yang hegemonik. China memiliki emoat sarana atau aset di tingkat domestik.

Pertama, BRI dan AIIB. China memang berambisi mengisi ruang-ruang kosong dari berkurangnya kehadiran dan kekuatan AS di Asia dan kawasan lain. Skema BRI dan AIIB menjadi senjata ampuh dari representasi peningkatan kekuatan China, baik di tingkat regional dan global. Dalam perkembangannya, BRI dan AIIB bahkan telah menyasar negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. 

Prakarsa BRI dan AIIB adalah strategi pembangunan global yang diadopsi oleh pemerintah China yang melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di 152 negara dan organisasi internasional di Asia, Eropa, Afrika, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika.

Kedua, diplomasi masker China membantu berbagai negara, termasuk di Eropa. China yang awalnya dianggap sebagai penyebab berasalnya virus Corona telah membalikkan posisinya dengan memanfaatkan kemampuan produksi masker dan alat-alat kesehatan untuk membantu negara lain melalui diplomasi masker-nya. 

Pada saat yang sama, Amerika Serikat lebih berorientasi domestik dan meninggalkan peran kepemimpinan globalnya. China mencoba hadir menggantikan AS. China membuat kawatir NATO dan UE ketika memberikan bantuan alat-alat kesehatan kepada Italia dan negara Eropa lainnya.

Ketiga, diplomasi vaksin Covid-19 menjadi game changer bagi hegemoni global China. Beijing menawarkan vaksin Covid-19 ke seluruh dunia sebagai "barang publik" (public goods). China juga menawarkan vaksin itu secara gratis kepada negara-negara miskin dengan imbalan kerjasama bilateral. Setidaknya ada 3 produsen vaksin dari China, yaitu: Cansino, G42/Sinopharm, dan Sinovac.

Selain itu, China juga terlibat dalam konsorsium vaksin Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI) dan Covax (sebuah kemitraan global untuk menjamin akses yang cepat, adil dan setara terhadap vaksin Covid-19 di seluruh dunia) bersama lebih dari 150 negara yang dikoordinasi oleh WHO dalam skema multilateralisme vaksin. Semua ini membentuk citra diri China sebagai pemimpin dalam kesehatan global. Sementara itu, AS dan banyak negara di dunia mengutamakan nasionalisme vaksin bagi warganegara-nya sendiri. 

Keempat, ancaman militer China di LCS. Namun demikian, wajah global China tidak sepenuhnya jernih. Seperti saya sudah singgung di awal tulisan ini, hegemoni China menimbulkan pro-kontra di antara berbagai negara di dunia. Ibarat politik uang di pemilihan umum di Indonesia, berbagai negara menerima dukungan ekonomi China, namun menolak berada di bawah hegemoni China.

Sebuah kenyataan geopolitik yang tidak dapat disangkal adalah peningkatan kehadiran ekonomi dan militer China di Asia (Tenggara) telah memecah-belah negara-negara anggota ASEAN, baik dalam isu pandemi-vaksin Covid-19 dan konflik klaim LCS. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan ASEAN yang selalu berusaha mendorong sentralitas organisasi regional itu di kawasan ini. 

Yang menjadi persoalan adalah bahwa, pada saat yang sama, hegemoni yang akan dibangun China ternyata mengirimkan sinyal berbahaya bagi perdamaian. Berbeda dengan komitmen China pada akses global vaksin Covid-19, pada isu LCS China justru menimbulkan konflik dengan negara-negara lain.

Dalam pengamatan saya, posisi tawar China pada saat ini sangat menarik. Negara Panda ini 'memegang' kunci keamanan global, yaitu keamanan di LCS dan keamanan dalam bentuk vaksin Covid-19. Posisi tawar China sangat tinggi dibandingkan AS, apalagi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.

China memang berambisi mengisi ruang-ruang kosong dari berkurangnya kehadiran dan kekuatan AS di Asia dan kawasan lain. Contohnya, Presiden Filipina Duterte terpaksa takluk dengan kekuasaan China di kedua isu global strategis itu.

Walaupun menjadi korban provokasi China di perairan LCS, Filipina memilih 'berbaikan' dengan China demi mendapatkan jaminan akses ke vaksin Covid-19. Demikian pula Malaysia yang meminta jaminan dari China untuk mendapatkan akses persediaan vaksin Covid-19. 

Faktor-faktor internasional
Sementara itu aset atau sarana internasional yang berkontribusi menjamin dominasi hegemoni China, yaitu: Pertama, perdagangan bebas melalui kesepakatan RCEP tanpa penentangan. Peningkatan kekuatan ekonomi dan militer China memang membuat berbagai negara terpaksa menerima tawaran kerjasama.

Terlalu riskan untuk menolak dan bersikap bermusuhan dengan China. Meskipun negara-negara itu mengeluh dan marah dengan perilaku militeristik China di LCS, negara-negara itu tidak bisa menolak kerjasama ekonomi dan militer dengan China.

Kedua, faktor AS. Walaupun AS di bawah Presiden Trump cenderung menarik diri dari posisi kepemimpinan global, kenyataan di Laut China Selatan menunjukkan kehadiran strategis AS tetap dipertahankan. Apalagi kehadiran kekuatan Angkatan Laut AS juga didampingi kapal-kapal perang dari berbagai negara. Tuntutan AS adalah kebebasan navigasi maritim di perairan LCS. Kehadiran AS di LCS tampaknya tidak akan berubah, walaupun AS dipimpin presiden baru Joe Biden pada Januari 2021.

Tantangan
Berbagai faktor domestik dan internasional itu telah berkontribusi membangun hegemoni bagi China. Negara-negara di dunia seolah dihadapkan pada situasi: selalu ada China dalam setiap isu atau masalah global. Dua isu besar sekarang adalah pandemi-vaksin dan LCS.

Dalam konteks itu, tantangan besar yang dihadapi China adalah menyesuaikan perilaku dengan negara-negara lain berdasarkan peran global yang ingin dijalankan. Setelah kesepakatan perdagangan bebas RCEP di antara 15 negara di Asia Pasifik memberikan keuntungan ekonomi, Beijing memanfaatkan diplomasi vaksin untuk membangun hegemoni globalnya. 

Oleh karena itu, jika China ingin mengisi kekosongan kepemimpinan global yang ditinggalkan AS, maka China perlu melakukan penyesuaian perilaku hubungan internasionalnya. Tujuannya adalah mengurangi resistansi dan, sebaliknya meningkatkan dukungan dari berbagai negara terhadap kehadiran China sebagai pemimpin global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun