Dan hari ini akan kulakukan lagi.
Seperti biasa, Yon kembali ke pos kerjanya 10 menit sebelum waktu kerja dimulai kembali. Aku menyusul keluar dari pantry dan mengambil rute yang berbeda. Menuju toilet.
Di dalam bilik toilet aku berusaha melenyapkan gemuruh di dalam kepala. Sampai kapan aku harus menuang kopi ini ke saluran pembuangan. Sampai kapan aku harus terpaksa menyukai sesuatu yang pria itu sukai. Kenapa aku masih mempertahankan kepura-puraan ini hanya supaya pria itu mau menghabiskan waktu makan siangnya sambil berbagi celoteh denganku.
***
Ini adalah hari yang lain. Aku sudah berencana utnuk mengubah sedikit alur kegiatan hari ini. Bagian yang akan kuubah itu adalah mengenai jam istirahat makan siang. Bukan soal apa yang akan kumakan, melainkan akan kemana aku siang ini. Yang pasti satu tempat itu tidak boleh kudatangi. Dan pula aku tidak boleh sampai berpapasan dengan orang itu. Pantry dan Yon sudah kumasukkan ke dalam daftar cekal.
Pantry dan Yon tidak berbuat salah. Dua entitas itu sama sekali tidak melakukan sesuatu yang mengancam hidupku. Tidak secara fisik. Aku perlu menghindari keduanya agar hati ini tetap aman, sentosa, dan terkendali. Itulah kenapa siang ini aku menaruh tubuhku di sebuah kedai makanan yang letaknya lumayan jauh dari kantor. Tapi sejauh apapun aku berusaha luput dari bayangan Yon dan kopinya yang selalu kutelantarkan, perasaanku tetap memberontak. Hati ini kerap mengusik dengan membisikkan ajakan agar aku menemui pria itu lagi. Tapi setelah pertemuan terakhir kami di pantry, nyaliku sudah tinggal ampas.
Begini ceritanya. Pertemuan terakhir itu diawali di tempat yang sama dan terjadi di waktu yang sama pula: pantry, jam makan siang. Prolog kisahnya pun masih itu-itu juga: Yon duduk di depanku dan ada dua gelas kopi Besemah di atas meja. Kukira cerita itu akan berkahir seperti yang sudah-sudah: kami berbicara ngalor-ngidul, Yon menghabiskan kopinya, dan aku kabur ke toilet. Tapi kemudian sesuatu yang berbeda terjadi. Aku tidak menyangka akan menemukan sebuah plottwist hari itu.
“Rin, gue boleh nanya sesuatu, enggak?”
Untuk seorang perempuan yang sudah sangat berharap, pertanyaan Yon itu jelas sangat provokatif. Saat sepasang lajang sudah banyak menghabiskan waktu bersama dan salah satunya mulai mengutarakan pertanyaan semacam itu, tak heran jika yang ditanya hanya bisa membayangkan satu hal: pengungkapan perasaan.
“Nanya apa, Yon?” tanyaku berusaha terlihat polos.
Yon mengatupkan bibirnya. Rautnya ragu. Dia alihkan pandangannya sebentar. Aku semakin berharap.