“Wah, gue enggak sangka lu suka kopi juga, Rin.”
Dua bungkusan yang isinya Yon akui sebagai kopi Besemah jadi benda yang dia bawa saat pertama kali aku melihatnya menyambangi pantry ini. Kopi Besemah itu adalah oleh-oleh dari saudaranya yang baru pulang bertualang di tanah Sumatera Selatan. Sama seperti hari ini, waktu itu juga Mang Kosim yang meracik kopinya. Aku tak akan lupa wangi dari bubuk robusta asal lereng Gunung Dempo itu. Aromanya sudah menggelitik hidung bahkan sebelum air panas melarutkannya. Yon menawariku kopi tersebut. Maka sejak hari itu dua gelas kopi Besemah akan selalu tersaji di pantry ini setiap waktu makan siang.
Kembali lagi ke laki-laki di depanku ini. Yonandar namanya. Cukup panggil dia Yon untuk menghemat nafas. Yon adalah teman sekantorku tapi dari divisi berbeda. Setahuku dia sering cari makan di luar saat jam makan siang. Tapi sejak kedatangannya ke pantry ini bersama dengan dua bungkus kopi itu, Yon jadi lebih sering menguras waktu istirahatnya di sini. Bersamaku.
Biar kuungkap sedikit penampakannya. Tubuhnya tinggi, tegap, dan tampak normal. Maksudku normal adalah Yon tidak cungkring seperti korban kurang gizi dan dia juga tidak punya perut membusung seperti bapak-bapak kurang olahraga. Dia ramah. Tidak pelit senyum. Soal wajahnya...., hmmmm, aku harus bilang apa, ya? Kalau sengaja kubandingkan dengan Jack Gylenhaal atau Bradley Cooper, Yon sudah pasti kalah. Aku tidak mengaatakan dia jelek, lho. Yang bisa kuceritakan berdasarkan sudut pandangku sebagai perempuan adalah Yon diberkahi mata cokelat yang menawan, garis dagu yang tegas, dan kulit wajah tanpa rambut. Yon bilang dia segan jika kumis mulai tumbuh di wajahnya. Katanya sih kegantengan dia bakal pudar kalau barisan rambut mulai merambat di antara hidung dan bibirnya itu. Kesimpulannya: Yon memang tidak sekeren aktor-aktor Hollywood tapi dia juga tidak pantas kumasukkan ke dalam kelompok pria berwajah di bawah garis pas-pasan. Ganteng banget sih tidak, tapi ya lumayan, lah.
Entah harus kusebut sial atau untung, pertemuan perdana kami di pantry ini harus terjadi saat aku mulai terlepas dari sisa belenggu cinta yang lampau. Yon hadir ketika aku mulai mantap untuk mempersilakan siapapun yang mau mengisi kembali ruang di hatiku.
Dan beginilah jadinya. Hampir setiap hari aku bertandang ke pantry. Dari semula yang hanya ingin menemukan ketenangan sekarang berubah menjadi kebutuhan untuk melewati waktu berdua. Dari yang awalnya hanya berniat membuang gelisah sekarang berganti menjadi penantian akan kehadirannya, yang jika tak kesampaian akan membuatku resah.
Ini bisa saja sempurna. Ini bisa saja menjadi titik balik bagiku yang sudah siap membuka hati kembali. Yon bisa saja menjadi yang berikutnya (dan kalau bisa yang terkahir dan selama-lamanya).
“Silakan, Mas Yon, Mbak Ririn,” tangan Mang Kosim yang berurat meletakkan dua gelas kopi di atas meja.
Ya, ini bisa saja sempurna. Semua bakal sempurna kalau kopi itu tidak hadir di depan mataku lagi.
***
Aku tidak tahu mesti kuapakan minuman hitam ini. Masa aku harus lagi-lagi berbuat mubazir? Yon menyuguhkan ini untukku tapi aku tak pernah menghabiskannya. Saat dasar gelas pria itu tinggal bersisa ampas hitam, gelasku selalu masih penuh. Ketika waktu istirahat akan usai dalam 10 menit dan Yon bangkit dari kursinya sambil melebarkan senyum, aku cuma mampu mengangguk sambil berdusta, “Makasih kopinya, Yon. Besok lagi, ya.”. Lalu setelah keadaan aman, aku segera kabur ke toilet dan membuang kopi yang tak habis itu ke dalam liang jamban.