Mohon tunggu...
Lucky Nuzurul Arif Mahensa
Lucky Nuzurul Arif Mahensa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa ppkn unnes

Selanjutnya

Tutup

Analisis

pentingnya peran generasi muda dalam kearifan dalam budaya lokal di zaman digital

11 Desember 2024   15:40 Diperbarui: 8 Desember 2024   15:41 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sejarah

Sejak zaman Hindu Budha, masyarakat Jawa telah mengetahui dan mempraktikkan

Nyadran sebagai tradisi untuk menyemangati orang tua yang telah meninggal dunia. Menurut

Partokusomo (1999: 3), Nyadran Sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta dikenal dengan

nama Sraddha atau Sadrayang dan mempunyai sifat protektif terhadap orang tua (Riyadi,

2017: 145). Selanjutnya, ketika masyarakat Jawa mulai menggunakan istilah "Sadradiubah",

maka dikenal dengan istilah "Nyadran", yang dapat dipahami sebagai hari puasa atau hari doa

(memberi sesaji) yang dimaksudkan untuk melindungi mereka yang dirampok di bulan

tersebut. ruwah .Berdasarkan beberapa kitab suci, tradisi Nyadran berasal dari Majapah.

Nyadran mempunyai kesamaan dengan tradisi Sraddha atau Craddha kerajaan Majapahit yang

berlangsung kira-kira pada tahun 1284. Ratu Tribuana Tungga Dewi merupakan orang

pertama yang melakukan tradisi Craddhadi di kerajaan Majapahit pada masa itu. Tujuan dari

tradisi ini adalah untuk menghormati dua dewa utama, yaitu Ratu Gayatri (Sri Rajapatni) dan

moya yang terdapat di Candi Jobo. Pada malam Tungga Dewi, tradisi Craddha dilaksanakan

oleh Putran Raja Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, tradisi

Sraddha dimaksudkan untuk menghormati seorang wanita yang dikenal sebagai Gayatri (Sri

Rajapatni), dan dilakukan pada bulan Agustus hingga September.Menyajikan sebagai macam

hidangan, yakin sayur, buah, daging, dan minuman lain. Menurut Anam (2017:81), tahun 13

menandai dimulainya pendidikan Islam di Indonesia. Wali Songo selanjutnya melaksanakan

doa harian sesuai dengan tradisi Nyadran, sehingga Saat mau tidur, nyadran tidak dan merta

sedang tolak. Dengan kata lain, tradisi pada masa Hindu-Budha dijadikan media wacana oleh

Wali Songo untuk menjelaskan dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa pada

masa itu. Akibatnya, tradisi Nyadranya berubah secara signifikan. Dahulu Nyadranya

menggunakan sesaji sebagai alat ritual, melakukan persembahan ke makam orang yang

meninggal, serta pemujaan dan permintaan sumbangan ke makam tersebut. Kemudian Wali

Songo mereformasinya dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an, tahlil, doa, dan makan

bersama secara berkelompok serta meluruskan ritual pujaan untuk mengesakan Allah SWT.

Menurut keterangan Wijaya, dkk. (2021:61) menyatakan bahwa kebanggaan lokal merupakan

hasil dari karakteristik masyarakat saat ini yang dikembangkan melalui sejumlah pengetahuan

dan bias yang kemudian diwariskan kepada generasi mendatang. Sebagai contoh, Nyadran

mengambil pengetahuan dan prasangka masyarakat umum yang selama ini dianut kemudian

diterapkan pada turunan selanjutnya. Sampai saat ini tradisi tersebut masih eksis dan masih

dipraktikkan, meski mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun