Sejarah
Sejak zaman Hindu Budha, masyarakat Jawa telah mengetahui dan mempraktikkan
Nyadran sebagai tradisi untuk menyemangati orang tua yang telah meninggal dunia. Menurut
Partokusomo (1999: 3), Nyadran Sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta dikenal dengan
nama Sraddha atau Sadrayang dan mempunyai sifat protektif terhadap orang tua (Riyadi,
2017: 145). Selanjutnya, ketika masyarakat Jawa mulai menggunakan istilah "Sadradiubah",
maka dikenal dengan istilah "Nyadran", yang dapat dipahami sebagai hari puasa atau hari doa
(memberi sesaji) yang dimaksudkan untuk melindungi mereka yang dirampok di bulan
tersebut. ruwah .Berdasarkan beberapa kitab suci, tradisi Nyadran berasal dari Majapah.
Nyadran mempunyai kesamaan dengan tradisi Sraddha atau Craddha kerajaan Majapahit yang
berlangsung kira-kira pada tahun 1284. Ratu Tribuana Tungga Dewi merupakan orang
pertama yang melakukan tradisi Craddhadi di kerajaan Majapahit pada masa itu. Tujuan dari
tradisi ini adalah untuk menghormati dua dewa utama, yaitu Ratu Gayatri (Sri Rajapatni) dan
moya yang terdapat di Candi Jobo. Pada malam Tungga Dewi, tradisi Craddha dilaksanakan
oleh Putran Raja Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, tradisi
Sraddha dimaksudkan untuk menghormati seorang wanita yang dikenal sebagai Gayatri (Sri
Rajapatni), dan dilakukan pada bulan Agustus hingga September.Menyajikan sebagai macam
hidangan, yakin sayur, buah, daging, dan minuman lain. Menurut Anam (2017:81), tahun 13
menandai dimulainya pendidikan Islam di Indonesia. Wali Songo selanjutnya melaksanakan
doa harian sesuai dengan tradisi Nyadran, sehingga Saat mau tidur, nyadran tidak dan merta
sedang tolak. Dengan kata lain, tradisi pada masa Hindu-Budha dijadikan media wacana oleh
Wali Songo untuk menjelaskan dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa pada
masa itu. Akibatnya, tradisi Nyadranya berubah secara signifikan. Dahulu Nyadranya
menggunakan sesaji sebagai alat ritual, melakukan persembahan ke makam orang yang
meninggal, serta pemujaan dan permintaan sumbangan ke makam tersebut. Kemudian Wali
Songo mereformasinya dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an, tahlil, doa, dan makan
bersama secara berkelompok serta meluruskan ritual pujaan untuk mengesakan Allah SWT.
Menurut keterangan Wijaya, dkk. (2021:61) menyatakan bahwa kebanggaan lokal merupakan
hasil dari karakteristik masyarakat saat ini yang dikembangkan melalui sejumlah pengetahuan
dan bias yang kemudian diwariskan kepada generasi mendatang. Sebagai contoh, Nyadran
mengambil pengetahuan dan prasangka masyarakat umum yang selama ini dianut kemudian
diterapkan pada turunan selanjutnya. Sampai saat ini tradisi tersebut masih eksis dan masih
dipraktikkan, meski mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H