masa itu. Akibatnya, tradisi Nyadranya berubah secara signifikan. Dahulu Nyadranya
menggunakan sesaji sebagai alat ritual, melakukan persembahan ke makam orang yang
meninggal, serta pemujaan dan permintaan sumbangan ke makam tersebut. Kemudian Wali
Songo mereformasinya dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an, tahlil, doa, dan makan
bersama secara berkelompok serta meluruskan ritual pujaan untuk mengesakan Allah SWT.
Menurut keterangan Wijaya, dkk. (2021:61) menyatakan bahwa kebanggaan lokal merupakan
hasil dari karakteristik masyarakat saat ini yang dikembangkan melalui sejumlah pengetahuan
dan bias yang kemudian diwariskan kepada generasi mendatang. Sebagai contoh, Nyadran
mengambil pengetahuan dan prasangka masyarakat umum yang selama ini dianut kemudian
diterapkan pada turunan selanjutnya. Sampai saat ini tradisi tersebut masih eksis dan masih
dipraktikkan, meski mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.