Namun, setelah kolonialisme eropa runtuh, akhirnya bangsa yang terjajah semisal Indonesia, kemudian memiliki realitas fiksinya sendiri, misalnya saja Kesetaraan. Baik bangsa eropa maupun non eropa memiliki hak yang sama untuk setara.
Artinya, ada fiksi-fiksi yang saling dipertahankan oleh masing-masing golongan. Oleh karenanya, lantas terjadi benturan antara fiksi modernitas kolonialisme dengan fiksi kesetaraan bangsa-bangsa yang terjajah.
Dalam konteks Indonesia. Indonesia sendiri itu realitas fiksi. Siapa yang bisa melihat Indonesia? Yang bisa kita lihat hanya realitas objektifnya semisal gunung, lautan, daratan dan pohon-pohon. Akan tetapi karena Indonesia adalah realitas fiksi, maka kemudian kita sebagai individu-individu yang ada di dalamnya dapat hidup dengan teratur, dapat hidup dengan baik. Sebab, kita memiliki fiksi yang sama tentang Indonesia.
Thomas Hobbes, dalam teori kontrak sosial menyebutkan, keadaan manusia yang tidak ada dalam tatanan politik apapun (disebut "keadaan alamiah" oleh Thomas Hobbes). Dalam kondisi ini, tindakan individu hanya terikat oleh kekuatan dan hati nurani pribadinya. Menurutnya, keadaan alamiah individu manusia itu egois. Egois ini termanifestasi dalam tiga hal, yakni kompetisi, rasa takut, dan hasrat berkuasa. Dalam hal ini, kompetisi untuk mendapatkan keuntungan, rasa takut itu mencari keamanan, dan hasrat berkuasa untuk memperoleh reputasi. Maka dalam keadaan alamiah, manusia berhak atas apapun. Sehingga kemudian muncul istilah Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya).
Sebetulnya yang ingin saya sampaikan sederhana. Bahwa, manusia hidup di dalam belantara fiksi. Oleh karenanya, manusia butuh sesuatu yang mengontrol, butuh sesuatu yang mengikat. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh fiksi. Karena hanya fiksi lah yang bisa mengontrol fiksi-fiksi yang tidak bertemu satu sama lain.