Jawabannya sederhana, karena manusia memiliki realitas fiksi yang sama. Oleh karena kesamaan realitas fiksi itulah pada akhirnya timbul norma-norma, hukum-hukum serta undang-undang, termasuk lalu lintas. Sederhananya begitu tentang bagaimana realitas fiksi bekerja dalam kehidupan manusia.
70 ribu tahun lalu, manusia, dalam hal ini manusia pra sejarah. Merupakan mahluk yang tidak memiliki peranan cukup besar di muka bumi, bahkan tidak punya impact lebih besar dari pada kunang-kunang atau ubur-ubur. Akan tetapi hari ini, kita sama-sama menyaksikan, manusia memiliki kontrol penuh di muka bumi, bahkan kita berada di puncak rantai makanan paling tinggi.
Mengapa bisa demikian?
Karena hanya manusia yang memiliki daya untuk bekerjasama dengan fleksibel dalam cakupan yang besar.
Tapi ada lho hewan yang memiliki kemampuan bekerjasama dalam cakupan yang besar. Apa itu? Yapp tepat sekali, yakni semut. Namun sayangnya, kerjasama semut tidak fleksibel, dari dulu ya begitu terus.
Ada hewan yang bisa bekerjasama dengan fleksibel, yakni monyet. Namun sayangnya monyet tidak bisa bekerjasama dalam cakupan yang besar. Kenapa?
Dalam biologi, untuk bisa bekerjasama, monyet perlu betul-betul mengenal satu sama lain. Sementara manusia, mampu bekerjasama hingga dalam cakupan yang besar sekalipun tanpa harus mengenal satu dengan yang lainnya.
Paling tidak, sebab alasan itulah manusia tetap eksis sampai sekarang bahkan kemudian mampu menjadi superior di muka bumi.
Maka dalam konteks Rusia vs Ukraina, yang sebetulnya sedang terjadi adalah bagaimana mereka beradu kuat saling mempertahankan realitas fiksinya masing-masing seperti di awal disebutkan.
Mari kita beri contoh realitas fiksi yang lebih relate dengan Indonesia.
Yakni kolonialisme. Dahulu, kolonialisme disokong realitas fiksi peradaban eropa, misalkan tentang Rasionalitas, Humanisme, Kemajuan dan Modernitas. Sehingga konon eropa tidak menjajah melainkan sedang memperadabkan (menyebarkan peradaban) ke yang lain (non eropa).