Perang selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan, namun saya perlu menegaskan di awal bahwa apapun yang dapat menghilangkan nyawa manusia, kita seharusnya menolaknya.Â
Dalam tulisan singkat ini, saya ingin mengomentari perang yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina. Bukan tentang geopolitik kedua negara, atau dampak yang ditimbulkan, melainkan tentang bagaimana realitas fiksi berkembang di sekitar konflik ini.
Saat ini, Rusia didorong oleh narasi-narasi fiksi tentang "Intervensi Kemanusiaan" dan "Keseimbangan Kekuatan". Menurut pandangan Rusia, apa yang mereka lakukan bukanlah invasi, melainkan upaya untuk mempertahankan diri dari NATO dan menyelamatkan warga Rusia di Ukraina dari fasisme yang berkembang. Terdapat sekitar 17% etnis Rusia yang tinggal di Ukraina, yang merasa mengalami diskriminasi dan bahkan kejahatan genosida. Salah satu bukti yang mereka angkat adalah adanya kebijakan yang melarang penggunaan bahasa Rusia di wilayah tersebut.
Di sisi lain, NATO didorong oleh narasi fiksi tentang "Stabilitas Global" dan "Keamanan". NATO mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah pelanggaran terhadap kesepakatan untuk tidak memperluas kekuasaan ke Eropa Timur, melainkan perlindungan terhadap Ukraina dari kekejaman Rusia. Padahal, sebelumnya, NATO juga terlibat dalam intervensi serupa, seperti di Kosovo, dengan alasan yang hampir sama: "intervensi kemanusiaan" atas agresi Serbia terhadap komunitas Albania di Kosovo. Dan, seperti halnya Rusia, agresi militer itu dilakukan tanpa persetujuan PBB.
Saya tidak sedang berusaha menentukan siapa yang benar atau salah dalam konflik ini. Namun, satu hal yang jelas: para kapitalis industri persenjataan sangat diuntungkan dengan adanya perang ini.
Alih-alih memilih sisi, saya lebih tertarik untuk melihat bagaimana "realitas fiksi" berperan dalam konflik ini—bagaimana masing-masing pihak mempertahankan narasi mereka, dan bagaimana narasi tersebut menyebabkan manusia saling membunuh.
Bagaimana Fiksi Mempengaruhi Kehidupan Kita
Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana lalu lintas di jalan raya bisa berjalan dengan tertib? Apa yang tampak sederhana—sekumpulan kendaraan yang bergerak di jalan—sebenarnya berfungsi karena pengemudi memiliki "realitas fiksi" yang sama. Meskipun yang mereka lihat hanya lampu lalu lintas dengan warna merah, kuning, dan hijau, masing-masing pengemudi memahami bahwa lampu merah berarti berhenti, kuning berarti hati-hati, dan hijau berarti terus jalan. Inilah yang disebut sebagai realitas fiksi—suatu kesepakatan bersama yang memungkinkan manusia untuk bekerja sama dengan cara yang teratur, meskipun mereka tidak saling mengenal.
Pertanyaannya adalah, mengapa manusia bisa bekerja sama dalam cakupan yang begitu besar dan fleksibel? Jawabannya terletak pada kesamaan realitas fiksi yang kita miliki. Dari sinilah muncul norma-norma, hukum-hukum, dan peraturan, seperti yang kita lihat dalam sistem lalu lintas. Kesepakatan bersama ini memungkinkan kita untuk hidup bersama dalam tatanan yang lebih luas, meski masing-masing individu tidak saling mengenal secara pribadi.
Daya Manusia dalam Bekerja Sama
Sekitar 70 ribu tahun lalu, manusia—terutama manusia pra-sejarah—adalah makhluk yang hampir tidak memiliki dampak signifikan di bumi, bahkan lebih kecil pengaruhnya daripada kunang-kunang atau ubur-ubur. Namun, hari ini, manusia menguasai bumi dan berada di puncak rantai makanan. Mengapa? Karena manusia memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam kelompok besar, bahkan tanpa harus mengenal satu sama lain.
Sementara itu, meskipun ada hewan lain yang bisa bekerja sama dalam kelompok besar—seperti semut—kerja sama mereka tidak fleksibel. Begitu juga dengan monyet, yang bisa bekerja sama, namun hanya dalam lingkup kecil dan terbatas pada individu yang mereka kenal. Inilah keunikan manusia: kemampuan untuk bekerja sama secara fleksibel dalam skala yang luas.
Perang sebagai Benturan Fiksi
Kembali ke konflik Rusia dan Ukraina, apa yang sebenarnya terjadi adalah pertarungan antara dua realitas fiksi yang berbeda. Masing-masing pihak mempertahankan narasi mereka sendiri, yang dianggap benar oleh mereka, meskipun kedua narasi ini mungkin tidak dapat disatukan. Dalam hal ini, perang bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang memperebutkan kebenaran versi masing-masing.
Fiksi dalam Sejarah: Kolonialisme dan Nasionalisme
Salah satu contoh nyata bagaimana fiksi memengaruhi sejarah adalah kolonialisme. Kolonialisme Eropa pada awalnya didorong oleh fiksi-fiksi seperti rasionalitas, kemajuan, dan humanisme—sebuah narasi yang menyatakan bahwa Eropa tidak menjajah, tetapi membawa peradaban kepada dunia yang lebih "terbelakang". Namun setelah kolonialisme runtuh, bangsa-bangsa yang terjajah, seperti Indonesia, membangun realitas fiksinya sendiri—yakni tentang kesetaraan, bahwa semua bangsa memiliki hak yang sama untuk merdeka.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat benturan antara fiksi kolonialisme dan fiksi kesetaraan yang diperjuangkan oleh bangsa-bangsa yang terjajah. Indonesia sendiri adalah sebuah realitas fiksi—bukan bentuk fisik yang bisa dilihat atau disentuh, melainkan suatu kesepakatan bersama tentang identitas, batasan, dan struktur sosial yang mengatur kehidupan kita bersama.
Manusia dan Kontrak Sosial
Thomas Hobbes dalam teori kontrak sosialnya menggambarkan keadaan manusia tanpa tatanan politik sebagai "keadaan alamiah", di mana individu hanya dipandu oleh kekuatan dan hati nurani pribadinya. Dalam keadaan ini, manusia cenderung egois, yang termanifestasi dalam kompetisi, rasa takut, dan hasrat berkuasa. Hobbes menyebut manusia dalam keadaan alamiah sebagai *homo homini lupus* (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Untuk menghindari kekacauan ini, manusia membutuhkan tatanan sosial yang mengikat—dan tatanan sosial itu lahir dari kesepakatan bersama, sebuah fiksi yang mengatur perilaku kita.
Kesimpulan: Manusia dalam Belantara Fiksi
Pada akhirnya, yang ingin saya sampaikan adalah sederhana: manusia hidup dalam dunia yang penuh dengan fiksi. Untuk bisa hidup bersama, manusia membutuhkan fiksi-fiksi yang mengikat dan mengatur. Tanpa fiksi ini, kita akan terjebak dalam keadaan chaos, seperti yang digambarkan oleh Hobbes. Fiksi, meskipun tidak nyata secara fisik, adalah kekuatan yang memungkinkan kita untuk berkoeksistensi, berkolaborasi, dan mengatur kehidupan sosial kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H