Tongging -- Silalahi, Januari 2012
Sebagai seorang Pembina Pramuka, adalah suatu pencapaian apabila adik didik telah berhasil menuntaskan tingkatan kecakapan di golongannya.Â
Di Gudep kami, menjadi Penegak Laksana adalah impian yang sangat jarang berwujud nyata, karena pada umumnya adik-adik yang telah memiliki kemampuan untuk ujian kecakapan Laksana justru tidak lagi punya cukup waktu untuk menuntaskannya oleh sebab ujian akhir SMA dan persiapan tes masuk PTN yang lazim mereka ikuti.Â
Tapi ritme itu kami ubah tahun ini, dengan sepenuh tekad dan keberanian bersama 5 orang calon Penegak Laksana yang menyatakan siap diuji.
Sebagaimana diketahui, syarat paling berat saat ujian Laksana adalah kegiatan pengembaraan. Kami mengatur medan ujian mereka bersamaan dengan kegiatan Kemah Tahunan Gudep yang diikuti semua anggota ambalan selama 4 hari 3 malam di tepi Danau Toba, tepatnya di Desa Tongging-Silalahi.Â
Selama waktu perkemahan tersebut para Calon Penegak Laksana ini diberikan tugas-tugas khusus yang berkaitan dengan uji pengembaraan tersebut. Mereka harus tidur di bivak dan terpisah dari peserta kemah lainnya. Hingga pada puncaknya mereka harus melakukan perjalanan sejauh +/- 20 km (dari Pos Polisi Silalahi Rumah Sumbul menuju Desa Tongging) dengan perbekalan seadanya.Â
Selama perjalanan mereka diberikan tugas-tugas sebagai penajaman materi SKU yang sebelumnya telah diuji. Mereka juga harus bermalam bersama masyarakat di desa Silalahi (tentu dengan bekal bivak yang mereka siapkan sendiri).
Sejujurnya, ujian Laksana seperti yang saya gambarkan di atas tidak hanya menggugah keberanian adik-adik, tetapi justru amat sangat menggugah keberanian kami sebagai Pembina yang merancang kegiatan tersebut.Â
Medan uji yang baru pertama kali dikunjungi dan harus menapaki jalan sepi di tepian danau Toba (hanya dilewati 1-2 kenderaan), jarak desa yang berjauhan sehingga banyak jalur yang harus dilewati jauh dari rumah penduduk, pemandangan makam suku Batak yang terpancang dimana-mana, pepohonan lebat dan seterusnya..... membuat ujian Laksana ini menjadi sangat menantang dan sekaligus...mengundang RESIKO!
Berbagai bahaya yang mungkin mengancam adik-adik selama menempuh ujian tersebut kami rinci sedetail mungkin. Bagi saya yang memang seorang ibu berusia paruh baya, sangatlah mudah untuk memvisualkan berbagai kemungkinan tersebut.Â
Sehari sebelum perjalanan mereka dimulai, kami telah menyisir lokasi, menemui Kepala Pos Polisi di titik terjauh perjalanan, menemui Kepala Desa setempat, menginfokan sekedarnya dengan masyarakat di sana bahwa besok akan ada 5 orang Pramuka yang akan melintasi wilayah mereka.Â
Terhadap kemungkinan bahaya yang ditimbulkan manusia juga masuk dalam daftar antisipasi resiko kami. Kepada Polisi saya banyak bertanya tentang catatan kriminal yang pernah terjadi, bahkan saya mengamati separah apa efek orang mabuk tuak di lapo-lapo sepanjang jalur pengembaraan. Setelah begitu banyak riset dan observasi lapangan, kami pun siap dengan segala kemungkinan resiko.
Hingga tiba saatnya melepas para pejuang Laksana itu, yakni 4 Penegak Puteri dan 1 Penegak Putra. Mereka sigap berbaris dengan seragam lapangan dan 1 ransel day-pack di punggung masing-masing. Sebagai identitas, 1 orang yang berjalan paling depan bertugas membawa stok dengan bendera kecil di ujungnya.Â
Bekal makan mereka cukup untuk kebutuhan 24 jam ke depan, tidak membawa uang dan benda berharga lainnya. Meski sebelumnya mereka sudah cukup terlatih dan diberikan informasi yang cukup untuk melakukan perjalanan seperti ini, lagi-lagi, sayalah yang merasa sangat deg-degan melepas mereka.Â
Di luar kesepakatan dengan Pembina lain, sebelum mereka berangkat saya memberikan HP jadul saya. Pesan saya, gunakan HP ini untuk mengabari saya hanya dalam keadaan DARURAT, nomor dan pulsa sudah tersedia.Â
Meski sempat berargumen dengan Pembina lain, tapi saya bersikeras bahwa kita harus bisa menguasai segala kemungkinan keadaan dan langkah tersebut adalah antisipasi Resiko yang saya ambil tanpa mengurangi kualitas ujian Laksana yang mereka tempuh.
Sepanjang hari hingga malam itu, tak sedetikpun saya bisa menikmati perkemahan. Pikiran hanya tertuju pada kelima pesdik saya itu. Sudah sampai mana, baik-baikkah semua, dst...hingga saya memutuskan untuk menguntit perjalanan mereka.
Kamipun bermobil menuju titik start, mengkonfirmasi kedatangan adik-adik sesuai skedul yang kami perkirakan. Dari informasi berbagai sumber yang kami peroleh secara diam-diam, kami mengetahui bahwa mereka akan bermalam di sebuah tanah kosong di pinggir danau dekat rumah Kepala Desa Silalahi. Kamipun kembali ke perkemahan meneruskan kegiatan bersama adik-adik lainnya.
Hingga keesokan paginya, mereka tiba di basecamp. Saya mengevaluasi perjalanan mereka, memeriksa detail satu persatu tugas yang diberikan. Hingga sampai pada 1 kesalahan fatal, bahwa mereka sempat menumpang mobil pick-up yang kebetulan lewat untuk mempercepat sampai di Desa Silalahi.Â
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, tapi kata "perjalanan" sudah cukup dipahami dengan "berjalan kaki". Akhirnya diputuskan bahwa mereka harus mengulang lagi perjalanan 20 km itu seluruhnya dengan berjalan kaki.
Setelah istirahat sebentar dan mengisi perbekalan seadanya, mereka pun berangkat. Saya sangat mengerti kekesalan mereka namun konsistensi haruslah tetap dipegang teguh. Tidak ada tawar menawar dalam ujian ini. Syarat pengembaraan harus dipenuhi dengan tata cara yang telah disepakati.Â
Dua sisi mata uang yang membayangi saya saat itu; ada rasa kasihan, kelegaan, dan senang karena mereka sudah sampai di perkemahan dengan selamat serta ada dorongan kuat keteguhan hati untuk tetap konsisten pada komitmen yang telah dibuat. Saya kukuhkan hati untuk meminta mereka mengulang perjalanannya kembali.
Begitulah hingga akhirnya petang hari mereka tiba kembali di perkemahan dengan tubuh sangat kelelahan dan tapak kaki melepuh. Total 40 km sudah mereka tempuh. Ingin rasanya saya memeluk mereka satu persatu. Betapa lega dan bangganya hati ini menyaksikan betapa kuatnya mereka menahan gemblengan yang kami berikan, dengan selamat tanpa kejadian-kejadian yang tidak kami inginkan, dan semua berjalan aman dan terkendali. Â
Di balik kelelahan mereka, saya menangkap rona kepuasan dari wajah-wajah mereka. Sebuah perjalanan pengembaraan yang seru, menantang, dan menyenangkan karena dilakukan bersama teman seangkatannya.Â
Saya yakin, pengalaman ini akan sangat berharga bagi kehidupan mereka di masa depan. Bukan dalam wujud pengembaraan yang sama karena di dunia nyata tantangan terberat mereka adalah bagaimana bisa survive dalam pengembaraan hidup yang penuh persaingan dan tipu daya.Â
Pembina Pramuka yang tengah bertugas membuat kegiatan untuk peserta didiknya agar berkoordinasi dan turut melibatkan pihak berwenang, aparat terkait, dan masyarakat setempat.Â
Perjalanan menuju Laksana tentu tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dan kerjasama dari masyarakat di sekitar lokasi. Karena itu, sangat penting bagiManajemen resiko sangat diperlukan sebelum berkegiatan. Di balik peseta didik yang bersemangat, ada Pembina Pramuka yang senantiasa siap dengan segala kemungkinan resiko dan bahaya yang mengancam.
Jangan takut ber-Pramuka. Karena Pramuka membuat hidup kita penuh berkah dengan pengamalan Tri Satya dan Dasa Dharma sepanjang usia. Pramuka melatih kemandirian dan telah terbukti sejak puluhan tahun membentuk jati diri anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H