Terhadap kemungkinan bahaya yang ditimbulkan manusia juga masuk dalam daftar antisipasi resiko kami. Kepada Polisi saya banyak bertanya tentang catatan kriminal yang pernah terjadi, bahkan saya mengamati separah apa efek orang mabuk tuak di lapo-lapo sepanjang jalur pengembaraan. Setelah begitu banyak riset dan observasi lapangan, kami pun siap dengan segala kemungkinan resiko.
Hingga tiba saatnya melepas para pejuang Laksana itu, yakni 4 Penegak Puteri dan 1 Penegak Putra. Mereka sigap berbaris dengan seragam lapangan dan 1 ransel day-pack di punggung masing-masing. Sebagai identitas, 1 orang yang berjalan paling depan bertugas membawa stok dengan bendera kecil di ujungnya.Â
Bekal makan mereka cukup untuk kebutuhan 24 jam ke depan, tidak membawa uang dan benda berharga lainnya. Meski sebelumnya mereka sudah cukup terlatih dan diberikan informasi yang cukup untuk melakukan perjalanan seperti ini, lagi-lagi, sayalah yang merasa sangat deg-degan melepas mereka.Â
Di luar kesepakatan dengan Pembina lain, sebelum mereka berangkat saya memberikan HP jadul saya. Pesan saya, gunakan HP ini untuk mengabari saya hanya dalam keadaan DARURAT, nomor dan pulsa sudah tersedia.Â
Meski sempat berargumen dengan Pembina lain, tapi saya bersikeras bahwa kita harus bisa menguasai segala kemungkinan keadaan dan langkah tersebut adalah antisipasi Resiko yang saya ambil tanpa mengurangi kualitas ujian Laksana yang mereka tempuh.
Sepanjang hari hingga malam itu, tak sedetikpun saya bisa menikmati perkemahan. Pikiran hanya tertuju pada kelima pesdik saya itu. Sudah sampai mana, baik-baikkah semua, dst...hingga saya memutuskan untuk menguntit perjalanan mereka.
Kamipun bermobil menuju titik start, mengkonfirmasi kedatangan adik-adik sesuai skedul yang kami perkirakan. Dari informasi berbagai sumber yang kami peroleh secara diam-diam, kami mengetahui bahwa mereka akan bermalam di sebuah tanah kosong di pinggir danau dekat rumah Kepala Desa Silalahi. Kamipun kembali ke perkemahan meneruskan kegiatan bersama adik-adik lainnya.
Hingga keesokan paginya, mereka tiba di basecamp. Saya mengevaluasi perjalanan mereka, memeriksa detail satu persatu tugas yang diberikan. Hingga sampai pada 1 kesalahan fatal, bahwa mereka sempat menumpang mobil pick-up yang kebetulan lewat untuk mempercepat sampai di Desa Silalahi.Â
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, tapi kata "perjalanan" sudah cukup dipahami dengan "berjalan kaki". Akhirnya diputuskan bahwa mereka harus mengulang lagi perjalanan 20 km itu seluruhnya dengan berjalan kaki.
Setelah istirahat sebentar dan mengisi perbekalan seadanya, mereka pun berangkat. Saya sangat mengerti kekesalan mereka namun konsistensi haruslah tetap dipegang teguh. Tidak ada tawar menawar dalam ujian ini. Syarat pengembaraan harus dipenuhi dengan tata cara yang telah disepakati.Â
Dua sisi mata uang yang membayangi saya saat itu; ada rasa kasihan, kelegaan, dan senang karena mereka sudah sampai di perkemahan dengan selamat serta ada dorongan kuat keteguhan hati untuk tetap konsisten pada komitmen yang telah dibuat. Saya kukuhkan hati untuk meminta mereka mengulang perjalanannya kembali.