Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan saling menopang, kami pun sampai di lokasi. Jika saya gambarkan, ini merupakan bagian atas atap hotel yang cukup luas. Para pengunjung maupun jurnalis bisa mengetik dan mendokumentasikan prosesi monolog di sini. Beberapa kursi juga disediakan, namun jumlahnya kalah dengan jumlah petunjuk. Masih muda, kami memilih untuk berdiri. Rame-rame nggak masalah kan? Toh berdiri juga lebih seru karena bisa bergerak sesuka hati. Kalau capek, ya tinggal duduk lesehan, beres! Hehehe...
Selain menyaksikan dari dalam Hotel Majapahit Surabaya, para pengguna jalan bisa menyaksikan karena Ananto tampil, menghadap ke jalanan. Hanya saja, penonton dari jalan raya harus menepi dan mendongakkan kepala ke atas untuk bisa menyaksikan pertunjukan tersebut. Beruntung, Ananto menggunakan pengeras suara sehingga aksinya dapat didengarkan banyak orang.
Lalu, tiba saatnya Ananto melakukan prosesi monolognya selama satu jam di Situs Menara Bendera Sisi Utara Yamato Hoteru. Dari loteng tempat kami berdiri, ia harus menaiki tangga kembali untuk sampai ke situs tersebut. Pembawaan Ananto membawakan monolog dengan bersemangat membuat pikiran saya berimajinasi. Ia yang mengenang saja memiliki “api yang berkobar” dalam diri untuk mengajak warga Kota Surabaya tidak melupakan sejarah, apalagi para pahlawan yang dulu berjuang merebut kemerdekaan. Sampai mereka harus memasuki hotel dari sudut lokasi yang hanya diketahui para pejuang Suroboyo untuk merobek bendera biru Belanda. Jadi, sudah jelas ya, urusan naik tangga mengggunakan sepatu wedges dan rok, juga takut ketinggian dan menginjak sesuatu dalam kegelapan, tidak ada apa-apanya, hehehe…
Menurut Ananto, kegiatan mengenang insiden Bendera ingin sangat penting, khususnya bagi generasi muda dalam meneladani arek-arek Suroboyo yang berani berkorban jiwa dan raga, bertempur melawan sekutu. Tak peduli mereka berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, dan status, mereka tidak terima kalau musuh mengibarkan benderanya di Tanah Air.
Pertempuran bendera ini, tuturnya, diikuti pertempuran lain di seluruh Indonesia untuk mengusir musuh. Sebut saja pertempuran pada 28, 29 dan 30 Oktober, juga 10 November 1945 di Surabaya.
Sesudah acara berakhir, kami berfoto bersama. Arek-arek Suroboyo masa kini yang punya nyali, diberikan kesempatan untuk naik ke Situs Menara Bendera Sisi Utara Yamato Hoteru, juga berfoto di sana. Saya dan teman-teman sempat naik ke sana, namun tidak lama. Cukup berfoto, lalu kami turun. Perasaan takut ketinggian, ada sedikit. Tantangan yang cukup berat di atas sana adalah menjaga keseimbangan tubuh dari angin, terutama angin malam. Tidak adanya apapun di atas situs menara, selain tiang bendera, membuat angin yang bertiup mampu “menghajar” kami dengan leluasa. Kalau tidak memiliki keseimbangan tubuh yang baik, orang yang berdiri di sana akan berisiko jatuh. Belum lagi, situs menara tersebut tidak memiliki banyak lahan untuk kaki orang berpijak.
Berbicara soal perjuangan, tentu tidak berhenti pada satu kata, yaitu “merdeka”. Perjuangan di masa kini tetap harus dilakukan. Minimal, berjuang untuk diri sendiri, dalam bidang apapun yang digeluti. Sesudahnya, berjuanglah untuk orang lain.
Buat yang sekolah, teruslah bersemangat dalam studimu, sembari gali potensi dalam diri yang bisa dikembangkan di kemudian hari.
Buat yang kuliah, dalami bidang yang digeluti. Percayalah, proses tak akan pernah mengkhianati hasil karena Tuhan tidak tidur. Ia bersama orang-orang yang tengah berjuang, baik dengan cucuran keringat, air mata maupun darah.