Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Professional Hypnotherapist & Trainer BNSP email: Luanayunaneva@gmail.com youtube: www.youtube.com/@luanayunaneva

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peringati Hari Pahlawan, Kenang Kembali Insiden Bendera di Hotel Yamato

10 November 2016   19:41 Diperbarui: 10 November 2016   20:19 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musisi yang memainkan biola menambah syahdu suasana malam itu, sementara Ananto sudah berada di situs monumen (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=555728804474739&set=a.400828566631431.80966.100001128738931&type=3&theater)

Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan saling menopang, kami pun sampai di lokasi. Jika saya gambarkan, ini merupakan bagian atas atap hotel yang cukup luas. Para pengunjung maupun jurnalis bisa mengetik dan mendokumentasikan prosesi monolog di sini. Beberapa kursi juga disediakan, namun jumlahnya kalah dengan jumlah petunjuk. Masih muda, kami memilih untuk berdiri. Rame-rame nggak masalah kan? Toh berdiri juga lebih seru karena bisa bergerak sesuka hati. Kalau capek, ya tinggal duduk lesehan, beres! Hehehe...

Musisi yang memainkan biola menambah syahdu suasana malam itu, sementara Ananto sudah berada di situs monumen (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=555728804474739&set=a.400828566631431.80966.100001128738931&type=3&theater)
Musisi yang memainkan biola menambah syahdu suasana malam itu, sementara Ananto sudah berada di situs monumen (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=555728804474739&set=a.400828566631431.80966.100001128738931&type=3&theater)
Sebelum Ananto memulai monolognya, musisi muda Surabaya memainkan komposisi lagu-lagu kebangsaan. Nuansa batik yang dikenakan membuat unsur kecintaan terhadap Indonesia semakin tinggi. Suasana mulai terhanyut oleh alunan biola yang nadanya miris, ditambah hembusan angin malam Surabaya yang cukup gerah, saat itu, membuat bulu kuduk nyaris berdiri. Panasnya malam itu, selain karena ibukota Jawa Timur ini memang bersuhu tinggi, bisa jadi efek lighting yang digunakan.

Selain menyaksikan dari dalam Hotel Majapahit Surabaya, para pengguna jalan bisa menyaksikan karena Ananto tampil, menghadap ke jalanan. Hanya saja, penonton dari jalan raya harus menepi dan mendongakkan kepala ke atas untuk bisa menyaksikan pertunjukan tersebut. Beruntung, Ananto menggunakan pengeras suara sehingga aksinya dapat didengarkan banyak orang.

Lalu, tiba saatnya Ananto melakukan prosesi monolognya selama satu jam di Situs Menara Bendera Sisi Utara Yamato Hoteru. Dari loteng tempat kami berdiri, ia harus menaiki tangga kembali untuk sampai ke situs tersebut. Pembawaan Ananto membawakan monolog dengan bersemangat membuat pikiran saya berimajinasi. Ia yang mengenang saja memiliki “api yang berkobar” dalam diri untuk mengajak warga Kota Surabaya tidak melupakan sejarah, apalagi para pahlawan yang dulu berjuang merebut kemerdekaan. Sampai mereka harus memasuki hotel dari sudut lokasi yang hanya diketahui para pejuang Suroboyo untuk merobek bendera biru Belanda. Jadi, sudah jelas ya, urusan naik tangga mengggunakan sepatu wedges dan rok, juga takut ketinggian dan menginjak sesuatu dalam kegelapan, tidak ada apa-apanya, hehehe…

Menurut Ananto, kegiatan mengenang insiden Bendera ingin sangat penting, khususnya bagi generasi muda dalam meneladani arek-arek Suroboyo yang berani berkorban jiwa dan raga, bertempur melawan sekutu. Tak peduli mereka berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, dan status, mereka tidak terima kalau musuh mengibarkan benderanya di Tanah Air.

Pertempuran bendera ini, tuturnya, diikuti pertempuran lain di seluruh Indonesia untuk mengusir musuh. Sebut saja pertempuran pada 28, 29 dan 30 Oktober, juga 10 November 1945 di Surabaya.


Sesudah acara berakhir, kami berfoto bersama. Arek-arek Suroboyo masa kini yang punya nyali, diberikan kesempatan untuk naik ke Situs Menara Bendera Sisi Utara Yamato Hoteru, juga berfoto di sana. Saya dan teman-teman sempat naik ke sana, namun tidak lama. Cukup berfoto, lalu kami turun. Perasaan takut ketinggian, ada sedikit. Tantangan yang cukup berat di atas sana adalah menjaga keseimbangan tubuh dari angin, terutama angin malam. Tidak adanya apapun di atas situs menara, selain tiang bendera, membuat angin yang bertiup mampu “menghajar” kami dengan leluasa. Kalau tidak memiliki keseimbangan tubuh yang baik, orang yang berdiri di sana akan berisiko jatuh. Belum lagi, situs menara tersebut tidak memiliki banyak lahan untuk kaki orang berpijak.

Berbicara soal perjuangan, tentu tidak berhenti pada satu kata, yaitu “merdeka”. Perjuangan di masa kini tetap harus dilakukan. Minimal, berjuang untuk diri sendiri, dalam bidang apapun yang digeluti. Sesudahnya, berjuanglah untuk orang lain.

Buat yang sekolah, teruslah bersemangat dalam studimu, sembari gali potensi dalam diri yang bisa dikembangkan di kemudian hari.

Buat yang kuliah, dalami bidang yang digeluti. Percayalah, proses tak akan pernah mengkhianati hasil karena Tuhan tidak tidur. Ia bersama orang-orang yang tengah berjuang, baik dengan cucuran keringat, air mata maupun darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun