Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Professional Hypnotherapist & Trainer BNSP email: Luanayunaneva@gmail.com youtube: www.youtube.com/@luanayunaneva

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peringati Hari Pahlawan, Kenang Kembali Insiden Bendera di Hotel Yamato

10 November 2016   19:41 Diperbarui: 10 November 2016   20:19 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tokoh seni dan budaya Surabaya, Ananto Sidohutomo dr, MARS sedang melakukan monolog untuk mengenang Insiden Bendera di Hotel Yamato yang kini menjadi Hotel Majapahit, Surabaya (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=555731837807769&set=a.400828566631431.80966.100001128738931&type=3&theater)

Peringatan Hari Pahlawan, hari ini, membuka kembali kenangan saya dua tahun lalu, di Surabaya. Tidak, tidak, ini tidak berhubungan dengan kenangan pahit atau luka di hati (halah), tetapi pengalaman luar biasa yakni mencicipi sensasi perjuangan arek-arek Suroboyo tempo dulu di Hotel Majapahit, Surabaya. Pada zaman kolonial, tempat bersejarah ini bernama Hotel Yamato atau Hotel Oranje.

Awalnya, saya sempat mengira insiden perobekan warna biru pada bendera Belanda oleh arek-arek Suroboyo dilakukan pada 10 November 1945. Namun ternyata, peristiwa tersebut terjadi pada 19 September 1945. Hal ini saya ketahui dari tokoh seni dan budaya Surabaya, Ananto Sidohutomo dr, MARS. Pria berkacamata itu juga mengundang saya untuk mengenang peristiwa tersebut, dengan menghadiri proses monolog insiden bendera Hotel Yamato, Jumat 19 September 2014, pukul 19.00.

Berikut adalah paket siaran radio yang saya buat berdasarkan hasil wawancara dengan beliau. Tayang pada hari yang sama, Jumat 19 September 2014, antara pukul 13.00-13.30 WIB. 


Saat itu saya hadir bersama rekan-rekan sesama jurnalis. Setelah sempat mengobrol dengan Sales Manager Hotel Majapahit Surabaya saat itu, Lisa Lestari, kami diundang langsung ke lokasi. Kami sempat terkejut karena monolog dilakukan tepat di lokasi arek-arek Suroboyo dulu berjuang membela Sang Saka Merah Putih. DIbutuhkan keberanian untuk ke sana, apalagi perempuan.

Kami saling berpandangan. Di salah satu sudut hotel disiapkan tempat duduk, lengkap dengan LCD agar pengunjung bisa menonton prosesi. Cukup nyaman memang! Pengunjung tinggal duduk manis, menonton pertunjukan dan mungkin sesekali berfoto. Di sisi lain, momen ini sangat langka. Kapan lagi bisa masuk ke area bersejarah ini. Dengan tekad bulat, kami mengambil keputusan untuk naik.

Kami pun diantar ke sebuah jalan yang cukup sempit dan agak gelap. Setiba di salah satu sudut hotel, kami berhenti. Ternyata kami harus menaiki tangga yang terbuat dari besi. Kembali berpandangan, pakaian yang kami gunakan sangat tidak nyaman untuk memanjat tangga. Teman saya mengenakan rok, sedangkan saya menggunakan sepatu wedges. Sempat ciyut nyali, iya. Namun kalau kami mundur, sia-sialah keberadaan di sana.

Berpegang pada prinsip arek-arek Suroboyo yaitu bonek atau bondo nekat (bermodalkan keberanian), untuk pertama kalinya saya menaiki tangga menggunakan sepatu wedges. Buseeettt!

Apa nggak sayang kalau sepatunya rusak? Sayang donk!

Apa nggak takut jatuh dari tangga? Pasti. Dulu waktu masih kecil, saya takut naik tangga.

Tetapi, saya pikir, apapun risikonya, lebih baik saya tetap menggunakan sepatu. Kalau sepatu dilepas, tidak ada yang tahu kan ada apa di tanah yang kami injak? Entah kotoran, hewan atau benda tajam.

Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan saling menopang, kami pun sampai di lokasi. Jika saya gambarkan, ini merupakan bagian atas atap hotel yang cukup luas. Para pengunjung maupun jurnalis bisa mengetik dan mendokumentasikan prosesi monolog di sini. Beberapa kursi juga disediakan, namun jumlahnya kalah dengan jumlah petunjuk. Masih muda, kami memilih untuk berdiri. Rame-rame nggak masalah kan? Toh berdiri juga lebih seru karena bisa bergerak sesuka hati. Kalau capek, ya tinggal duduk lesehan, beres! Hehehe...

Musisi yang memainkan biola menambah syahdu suasana malam itu, sementara Ananto sudah berada di situs monumen (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=555728804474739&set=a.400828566631431.80966.100001128738931&type=3&theater)
Musisi yang memainkan biola menambah syahdu suasana malam itu, sementara Ananto sudah berada di situs monumen (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=555728804474739&set=a.400828566631431.80966.100001128738931&type=3&theater)
Sebelum Ananto memulai monolognya, musisi muda Surabaya memainkan komposisi lagu-lagu kebangsaan. Nuansa batik yang dikenakan membuat unsur kecintaan terhadap Indonesia semakin tinggi. Suasana mulai terhanyut oleh alunan biola yang nadanya miris, ditambah hembusan angin malam Surabaya yang cukup gerah, saat itu, membuat bulu kuduk nyaris berdiri. Panasnya malam itu, selain karena ibukota Jawa Timur ini memang bersuhu tinggi, bisa jadi efek lighting yang digunakan.

Selain menyaksikan dari dalam Hotel Majapahit Surabaya, para pengguna jalan bisa menyaksikan karena Ananto tampil, menghadap ke jalanan. Hanya saja, penonton dari jalan raya harus menepi dan mendongakkan kepala ke atas untuk bisa menyaksikan pertunjukan tersebut. Beruntung, Ananto menggunakan pengeras suara sehingga aksinya dapat didengarkan banyak orang.

Lalu, tiba saatnya Ananto melakukan prosesi monolognya selama satu jam di Situs Menara Bendera Sisi Utara Yamato Hoteru. Dari loteng tempat kami berdiri, ia harus menaiki tangga kembali untuk sampai ke situs tersebut. Pembawaan Ananto membawakan monolog dengan bersemangat membuat pikiran saya berimajinasi. Ia yang mengenang saja memiliki “api yang berkobar” dalam diri untuk mengajak warga Kota Surabaya tidak melupakan sejarah, apalagi para pahlawan yang dulu berjuang merebut kemerdekaan. Sampai mereka harus memasuki hotel dari sudut lokasi yang hanya diketahui para pejuang Suroboyo untuk merobek bendera biru Belanda. Jadi, sudah jelas ya, urusan naik tangga mengggunakan sepatu wedges dan rok, juga takut ketinggian dan menginjak sesuatu dalam kegelapan, tidak ada apa-apanya, hehehe…

Menurut Ananto, kegiatan mengenang insiden Bendera ingin sangat penting, khususnya bagi generasi muda dalam meneladani arek-arek Suroboyo yang berani berkorban jiwa dan raga, bertempur melawan sekutu. Tak peduli mereka berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, dan status, mereka tidak terima kalau musuh mengibarkan benderanya di Tanah Air.

Pertempuran bendera ini, tuturnya, diikuti pertempuran lain di seluruh Indonesia untuk mengusir musuh. Sebut saja pertempuran pada 28, 29 dan 30 Oktober, juga 10 November 1945 di Surabaya.


Sesudah acara berakhir, kami berfoto bersama. Arek-arek Suroboyo masa kini yang punya nyali, diberikan kesempatan untuk naik ke Situs Menara Bendera Sisi Utara Yamato Hoteru, juga berfoto di sana. Saya dan teman-teman sempat naik ke sana, namun tidak lama. Cukup berfoto, lalu kami turun. Perasaan takut ketinggian, ada sedikit. Tantangan yang cukup berat di atas sana adalah menjaga keseimbangan tubuh dari angin, terutama angin malam. Tidak adanya apapun di atas situs menara, selain tiang bendera, membuat angin yang bertiup mampu “menghajar” kami dengan leluasa. Kalau tidak memiliki keseimbangan tubuh yang baik, orang yang berdiri di sana akan berisiko jatuh. Belum lagi, situs menara tersebut tidak memiliki banyak lahan untuk kaki orang berpijak.

Berbicara soal perjuangan, tentu tidak berhenti pada satu kata, yaitu “merdeka”. Perjuangan di masa kini tetap harus dilakukan. Minimal, berjuang untuk diri sendiri, dalam bidang apapun yang digeluti. Sesudahnya, berjuanglah untuk orang lain.

Buat yang sekolah, teruslah bersemangat dalam studimu, sembari gali potensi dalam diri yang bisa dikembangkan di kemudian hari.

Buat yang kuliah, dalami bidang yang digeluti. Percayalah, proses tak akan pernah mengkhianati hasil karena Tuhan tidak tidur. Ia bersama orang-orang yang tengah berjuang, baik dengan cucuran keringat, air mata maupun darah.

Buat yang bekerja, berjuanglah dalam pekerjaanmu. Di mana pun, dunia kerja itu keras. Banyak orang tentu memiliki pendapat yang berbeda. Namun, jangan pernah takut berjuang, jika kita berada di posisi yang benar.

Jadi, kapan kamu memperjuangkan aku?

Eaaaaaa….

Bandung, 10 November 2016

Luana Yunaneva

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun