“Kenalin, ini namanya Davin,” Baron menunjukkanku kepada si muka pucat. Kemudian ia menepuk pundak si muka pucat, “Kenalan dulu, Vin, ini Sylvana. Dia berminat untuk jadi penulis buku sepertimu.” Si muka pucat yang tadinya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tiba-tiba terkejut. Lalu ia tersenyum kepadaku.
“Hallo! Davin,” si muka pucat mengulurkan tangannya kepadaku.
“Eh, iya, hallo! Sylvana.” aku tersenyum.
Singkat cerita, dia nggak sedingin yang kupikirkan. Kukira dia orang yang hatinya sedingin es, yang tidak bisa dilelehkan dengan apapun karena ia selalu berada di kutub. Ternyata aku salah, Dear! Tak disangka, dia begitu antusias ketika aku bertanya banyak hal tentang cara menulis novel. Dia yang ternyata lebih matang dari segi usia, malah mengajakku untuk mengikuti gathering bersama rekan-rekannya sesama penulis, besok. Ya, besok, Dear! Aku yang masih belum jadi apa-apa, layaknya butiran debu yang tidak kelihatan, tiba-tiba diajak Davin menghadiri kegiatan penting semacam itu. Tiba-tiba, Davin mengeluarkan ponselnya dan menanyakan nomor handphone-ku.
“Nggak apa-apa, datang aja, Syl. Kita bisa belajar bareng temen-temen lain juga koq di sana,” katanya ramah. Aku pun cuma bisa nyengir.
“Hehehe, iya,Kak.”
“Ya udah, nanti kukabari. Sampai ketemu besok, Sylvana!” Lambaian tangannya mengantar kepergianku, meninggalkan komunitas kecil yang bersahaja itu.
Bandung, 12 April 2016