[caption caption="Ilustrasi pertemuan pertama (sumber: http://pre14.deviantart.net)"][/caption]
Dear, Diary
Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di sebuah komunitas kecil, tepatnya di kota yang masih terasa janggal bagiku. Menurutku, komunitas ini cukup hangat dengan orang-orangnya yang ramah, termasuk kepadaku yang merupakan seorang pendatang yang mungkin mereka anggap tidak jelas asal-usulnya. Namun, aku cukup menghargai usaha mereka untuk menanyaiku A, B, C, D, hingga Z. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu mereka lontarkan untuk lebih dekat mengenalku, membuatku merasa diterima, atau sekadar basa-basi. Entahlah. Tapi aku cukup nyaman dengan orang-orang baru tersebut. Tidak ada firasat buruk yang menghampiriku.
Tapi kamu tahu nggak, Dear, di antara banyaknya orang di situ, ada seseorang yang kulihat aneh ketika pertama kali aku memasuki bilik komunitas yang berbentuk persegi itu. Laki-laki. Ia tampak pucat dengan ekspresi wajah yang datar. Dari penampilan, dia tidak kelihatan begitu menarik. Potongan rambutnya aja nggak kekinian. Makanya susah juga bagiku untuk mengira-ngira berapa umurnya. Gaya berpakaiannya juga tidak begitu terlihat karena ia menggunakan jaket di dalam ruangan.
“Ya, semoga saja ekspresi datar dan muka pucat itu bukan pertanda kalau dia tidak sakit,” batinku saat itu.
Dia duduk tepat di seberangku. Sepertinya dia tidak ramah. Seutas senyum pun tidak diberikannya kepadaku. Berbeda dengan orang-orang lain yang tersenyum lebar sewaktu melihatku dari kejauhan. Mungkin saking tampaknya aku sebagai wujud yang berbeda dari anggota komunitas ini pada umumnya, kali ya?
Deja vu.
Sepertinya, aku pernah melihatnya. Tapi entah kapan dan di mana.
Ah, sudahlah. Sepertinya dia bukan orang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol. Begitu pikirku. Aku pun berlalu dan memilih untuk menikmati segala yang ada di komunitas ini. Orang-orangnya kelihatan menyenangkan. Makanannya pun enak, hehe.
Acara di komunitas ini pun berakhir. Namun aku masih belum beranjak. Orang-orang di sini sangat ramah dan membuatku merasa lupa bahwa aku adalah orang asing di tengah-tengah mereka. Kalau biasanya aku suka jaim saat berada di lingkungan baru atau orang-orang yang belum terlalu dekat, kali ini suasananya berbeda. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Sosok Sylvana yang bisa tertawa lepas saat ada hal yang konyol, mengeluarkan joke ringan yang membuat beberapa orang di sekitarku tersentak. Nila, salah seorang di antara mereka berkata, “Wah, kayaknya kamu bakalan betah di sini, Syl. Cocok, gila juga kamu orangnya.” Aku pun tertawa.
Tiba-tiba ada seseorang yang cukup tinggi datang. Ia berdiri di balik pintu sedangkan posisiku tepat di depan samping pintu keluar ruangan. Kau tahu siapa dia, Dear? Si muka pucat dengan wajah datarnya.
“Nah, ini lho yang tadi aku ceritain, Syl! Dia adalah satu-satunya penulis buku di komunitas ini” seru Baron kepadaku. Baron adalah pemuda pertama yang kukenal ketika aku tiba ke tempat ini tadi pagi. Aku tersentak dan cuma bisa mengeluarkan kata “oh” dari mulutku.
“Kenalin, ini namanya Davin,” Baron menunjukkanku kepada si muka pucat. Kemudian ia menepuk pundak si muka pucat, “Kenalan dulu, Vin, ini Sylvana. Dia berminat untuk jadi penulis buku sepertimu.” Si muka pucat yang tadinya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tiba-tiba terkejut. Lalu ia tersenyum kepadaku.
“Hallo! Davin,” si muka pucat mengulurkan tangannya kepadaku.
“Eh, iya, hallo! Sylvana.” aku tersenyum.
Singkat cerita, dia nggak sedingin yang kupikirkan. Kukira dia orang yang hatinya sedingin es, yang tidak bisa dilelehkan dengan apapun karena ia selalu berada di kutub. Ternyata aku salah, Dear! Tak disangka, dia begitu antusias ketika aku bertanya banyak hal tentang cara menulis novel. Dia yang ternyata lebih matang dari segi usia, malah mengajakku untuk mengikuti gathering bersama rekan-rekannya sesama penulis, besok. Ya, besok, Dear! Aku yang masih belum jadi apa-apa, layaknya butiran debu yang tidak kelihatan, tiba-tiba diajak Davin menghadiri kegiatan penting semacam itu. Tiba-tiba, Davin mengeluarkan ponselnya dan menanyakan nomor handphone-ku.
“Nggak apa-apa, datang aja, Syl. Kita bisa belajar bareng temen-temen lain juga koq di sana,” katanya ramah. Aku pun cuma bisa nyengir.
“Hehehe, iya,Kak.”
“Ya udah, nanti kukabari. Sampai ketemu besok, Sylvana!” Lambaian tangannya mengantar kepergianku, meninggalkan komunitas kecil yang bersahaja itu.
Bandung, 12 April 2016
Luana Yunaneva
[caption caption="Event My Diary (sumber: Kompasiana)"]
P.s: Baca karya peserta lain di Akun Fiksiana Community: Inilah Hasil Karya Peserta Event My Diary.
Silakan bergabung diFB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H