Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Trainer BNSP RI, Public Speaker & Professional Hypnotherapist email: Luanayunaneva@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berbagi Cerita di Penghujung Bulan Penuh Cinta

1 Maret 2016   06:51 Diperbarui: 1 Maret 2016   07:59 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi CInta (Sumber foto: http://valentinesday.wishyouthesame.com/images/valentines-day-images-10.jpg)"][/caption]Di penghujung Februari 2016, bulan yang (kata sebagian orang) penuh cinta, tiba-tiba saya ingin membagikan pengalaman menarik dan sedikit wawasan tentang fenomena ini.

Tentang Valentine's Day? Tentu saja. Istilah ini saya kenal sejak duduk di kelas enam sekolah dasar (SD). Saat itu saya tidak paham, mengapa beberapa teman membawa coklat, bunga, dan kado kecil, kemudian menaruhnya di meja guru. Saya pikir, teman-teman berupaya 'menyogok' guru dengan hadiah-hadiah tersebut sehubungan pengadaan ulangan. Tapi tidak ada ulangan apapun di hari tersebut. Memuaskan rasa penasaran, saya yang kepo dengan istilah asing itu pun segera menanyakan ke teman-teman dekat.

“Oh, hari kasih sayang ya? Hari kasih sayang itu pakai coklat ya?” batin saya setengah bengong. “Hmmmm, enak juga ya jadi guru, soalnya dapat banyak coklat dari murid-murid setahun sekali. Minimal saat valentine's day-lah. Ini baru di satu kelas, belum termasuk dari kelas lain.”

Ya, itulah definisi valentine's day versi saya ketika masih unyu-unyu memakai seragam putih-merah.

Pengertian hari kasih sayang pun bergeser ketika saya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama (SMP). Saya mencoba hal yang berbeda di hari istimewa ini dengan memberi Mama sebuket bunga. Patungan sama Papa sich! Maklum, namanya juga masih sekolah dengan uang jajan terbatas, hehehe. Rencana ini dilakukan mendadak saat Papa menjemputku di sekolah. Saat saya usul ke Papa untuk urunan membeli bunga dalam rangka hari kasih sayang untuk Mama, Papa pun setuju. Kami pun mampir ke toko bunga langganan.

Setiba di rumah dan turun dari sepeda motor sembari membawakan sebuket kecil bunga, ternyata cukup membuat Mama terkejut. Mama yang tadinya mengobrol bersama tetangga sebelah, langsung menyudahi pembicaraan dengan sopan. Tetangga pun maklum, apalagi melihat buket bunga berwarna-warni di genggamanku. (Buket bunganya tetap ketahuan, padahal sudah kusembunyikan di belakang punggung biar romantis seperti difilm-film barat hehehe)

Ya, itulah bahagia anak sekolah berseragam putih-biru tua saat valentine's day. Tapi perlahan saya mulai berpikir bahwa mengungkapkan kasih sayang kan tidak hanya dilakukan setahun sekali. Setiap hari dan kapan pun saya mau, saya bisa menyatakan rasa sayang kepada orang tua, adik, maupun teman-teman.

Berseragam putih abu-abu seperti lagu lawas penyanyi idolaku Anggun C. Sasmi, melahirkan definisi yang tak kalah menarik. Fenomena yang saya lihat setiap tanggal 14 Februari selama tiga tahun berturut-turut adalah ajang 'tembak-menembak'. Bukan menggunakan senjata api melainkan mengandalkan keberanian menyatakan perasaan kepada lawan jenis. Catat ya, lawan jenis! Zaman saya sekolah masih belum musim yang namanya lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) seperti sekarang, hehehe. Ajang 'tembak-menembak' itu tentu tidak dengan tangan hampa tetapi membawa peluru berupa coklat, boneka, atau kado yang dibungkus rapi, lengkap dengan pita merah muda.

Senapan keberanian harus didukung peluru supaya gencatannya sukses. Hasilnya beragam. Ada yang tembus alias diterima. Ada juga yang lossss alias meleset karena yang 'ditembak' tidak berkenan menerima cintanya. Yang 'jadian', pulang sekolah bisa senyum-senyum bahagia dan pulang bersama si dia. Atau menunggu jemputan orang tua di sekolah sambil bisik-bisik teman sebelahnya. Curhat sepertinya, hehehe. Sementara (cowok) yang ditolak, biasanya tampak sedih atau malah menghibur diri dengan bermain sepak bola bersama teman-temannya.

Ya, begitulah gambaran yang masih saya ingat. Cuma sayangnya, saat itu saya hanya sebagai pengamat, bukan terdakwa maupun pelaku. Mungkin karena orang tua tidak mengizinkan saya berpacaran selama masih sekolah ya, jadi saya pun tidak berani berpikir macam-macam. Mencoba backstreet? Ah, demi apa? Sebagian besar guru SMA adalah tetangga dan teman sekolah Papa. Jadi saya pikir, kalau dipaksakan pacaran backstreet pun bakal percuma. Pasti ketahuan! Makanya saya sangat bersyukur tidak mengalami balada galau saat SMA. Kalau sekadar naksir dan ditaksir, itu mah wajar atuh, hehehe. Lagipula pacaran saat masih sekolah, menurut saya, justru menyita pikiran. Energi yang bisa dipakai untuk belajar dan sosialisasi dengan banyak teman, justru terkuras hanya untuk memperhatikan seorang lawan jenis saja. Belum lagi kalau ada masalah, pasti jadi nggak mood belajar, muka murung di kelas, dan paling malas kalau nantinya jadi sorotan teman-teman. Pada banyak yang kepo nanti. Ini bukan pengalaman saya lho, melainkan berdasarkan pengamatan saya di sekolah, hehehe.

Yang menarik saat masih sekolah adalah saya belajar bagaimana sebuah hubungan yang sesungguhnya. Saya lupa, saat itu saya masih duduk di tingkat SMP atau SMA. Tapi yang pasti, wawasan ini tidak saya dapatkan di sekolah tetapi gereja.

Kala itu, seperti biasa saya menghabiskan Malam Minggu (baca: Sabtu Malam) di gereja bersama teman-teman. Bertepatan dengan hari kasih sayang, tema khotbah yang diangkat cukup menarik untuk anak muda, dibawakan oleh pendeta muda yang baik hati dan tidak sombong, Pdt. Edd Merdhiriawan, S.KH., M.A. Ini adalah kali pertama saya belajar tentang relationship. Meski saya mendapatkan materi ini sudah cukup lama, wawasan ini masih melekat di otak saya sampai detik ini. Amazing!

Alumnus Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya dan Sekolah Tinggi Teologia Baptis Indonesia (STBI), Semarang itu menjelaskan, pacaran adalah tahap di mana dua orang (laki dan perempuan) saling mengenal sebelum masuk ke jenjang pernikahan. “What??? Pernikahan???” batin saya saat itu. Tidak lama beliau menjelaskan, kalau belum ada bayangan menuju hubungan serius yaitu pernikahan, ngapain pacaran? Disarankannya, anak-anak yang masih sekolah fokus pada pendidikan. Baru setelah masuk ke jenjang perkuliahan, bisa mencicil mengenal lebih dekat dengan lawan jenis. Itu pun dengan syarat dan ketentuan berlaku:

Pertama, seiman. Maksud seiman di sini adalah memiliki agama dan kepercayaan yang sama sehingga sepasang lelaki dan perempuan ini bisa saling mendukung dan mendoakan. Ketika berjalan di rel yang sama, keduanya fokus pada satu tujuan utama yaitu Tuhan.

Kedua, sepadan. Artinya, sebisa mungkin berpasangan dengan orang yang setara. Kalau pun ada jarak, pastikan tidak terlalu jauh.kalau banyak kemiripan, itu lebih baik. Misal, A berpacaran dengan B. A adalah anak yang pintar, rajin belajar, tidak pernah membolos, taat kepada orang tua, dan rajin beribadah. Sementara B cenderung malas, suka membolos, suka membantah, dan ibadahnya bolong-bolong. Kurang pas kan? Kalau A bisa mengajak B berubah ke arah yang lebih baik, itu bagus. Sebaliknya, kalau pengaruh B lebih kuat sehingga kualitas A menurun drastis dibanding sebelumnya, tentu hubungan ini menjadi tidak bertumbuh. Lain halnya kalau misal A menjadi kekasih C. Sebut saja, C tidak terlalu pintar tapi punya kemauan keras untuk belajar, suka belajar dan tanya guru sana-sini. Tentu gap di antara mereka tidak terlalu terasa. Mereka bisa saling membantu dan mendukung dalam studi karena sama-sama memiliki keinginan kuat untuk menjadi pribadi yang lebih.

Lebih jauh, dijelaskan Pdt. Edd, ternyata ada beberapa fase yang harus dilalui sebelum memutuskan untuk berpacaran, antara lain:

Berteman

Ya, bertemanlah dulu dengan banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan, apalagi sejak masih duduk di bangku sekolah. Jangan membeda-bedakan! Setiap orang memiliki keunikan, kelebihan, dan kekurangan. Di tahap ini, tidak perlu memberikan perhatian lebih pada satu-dua orang yang dianggap menarik. Semua teman dianggap netral dan berbuatlah baik kepada mereka.

Bersahabat

Dari sekian banyak teman, tentu ada segelintir orang yang dianggap cocok. Mungkin karena nyambung diajak ngobrol, punya hobi dan minat yang sama akan sesuatu. Nggak ada salahnya kita memiliki banyak sahabat di lingkungan berbeda, seperti rumah, sekolah, organisasi, dan kantor, karena kita bisa belajar hal-hal baru dari mereka. Dari persahabatan ini, kita bisa tahu karakter dan sifat orang lain, termasuk si dia. Eits, tapi jangan terburu-buru! Kan masih bersahabat. Sebuah hubungan yang baik bermula dari persahabatan yang tulus.

Salah satu mulai mendoakan

Setelah lama berteman dengan seseorang, kita menjadi semakin akrab. Karena punya hobi yang sama dan nyambung saat ngobrol, kita pun menjadi sahabat yang berbagi suka dan duka dalam kurun waktu yang cukup lama. Akhirnya terbesit dalam hati, “Wah, si dia koq beda ya? Dia baik hati, nggak sombong, rajin menabung, suka menolong umat manusia, bla bla bla.” Tanpa disadari, bunga-bunga asmara bersemi di hati. Kalau sudah mulai bawa perasaan (baper) begini, doa adalah jawabannya. Doa yang disampaikan adalah meminta petunjuk Tuhan, apakah dia orang yang tepat untuk kita. Bila perlu, minta tanda tertentu sebagai jawaban Tuhan atas doa kita. Kalau rajin berdoa, pasti bakalan bisa koq mendengarkan suara Tuhan.

Saling mendoakan

Kalau memang si dia memang Tuhan ciptakan untuk kita, didukung dengan doa kita setiap hari, lama-kelamaan tanda-Nya akan muncul. Salah satunya, si dia juga ikut mendoakan kita. Baik doa itu ia sampaikan kepada Tuhan seorang diri, atau mengutarakan keinginannya untuk berdoa bersama dengan kita. Apa itu artinya? Saling mendoakan. Apalagi?

Berpacaran

Ketika kedua belah pihak sudah saling mendoakan, berarti sinyal positif sudah ada dalam genggaman. Tapi pastikan kedua hal utama yang disebutkan di atas (seiman dan sepadan) sudah dimiliki dulu. Yang dilakukan saat pacaran, tentu saling mengenal. Mulai sifat, karakter, plus-minus, suka-tidak suka, dan lain-lain. Selain itu, melakukan kegiatan-kegiatan positifyang saling mendukung peningkatan kualitas keduanya. Kedengarannya lebay dan nggak gaul mungkin ya? Eits, siapa bilang? Kegiatan positif itu macam-macam jenisnya, nggak cuma belajar serius di perpustakaan ya (meski kegiatan itu bisa juga dilakukan, hehe). Kalau kita suka fotografi dan pasangan termasuk orang yang narsis, kenapa nggak berkolaborasi hunting foto bareng? Si dia menjadi model dan kita bisa meningkatkan kemampuan fotografi. Seru kan?

Bertunangan

Pacaran sudah serius, mau ngapain lagi kalau nggak bertunangan untuk mengikat hubungan. Namun statusnya masih belum menikah, jadi tetap nggak boleh macam-macam alias tetap menjaga kesucian diri sendiri dan pasangan.

Menikah

Setelah melewati perjuangan, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Married. Ini bukanlah akhir cerita cinta melainkan awal dari segalanya. Bersiaplah menghadapi lembaran baru bersama keluarga baru, yakni pasangan. Perjuangan lainnya siap menanti di depan mata.

Kurang lebih, pengalaman dan cerita itulah yang saya ingat ketika memasuki bulan Februari setiap tahun. Kalau sebagian orang berpendapat bahwa Valentine's Day tidak seharusnya dirayakan, ya kembali ke pribadi masing-masing. Kalau dirayakan dengan mabuk-mabukan, melakukan seks bebas serta hal-hal yang tidak dibenarkan agama dan hukum, jelas salah. Tapi kalau sekadar diambil esensinya untuk memberikan perhatian lebih kepada orang-orang terkasih, seperti orang tua, kakak, adik, suami, istri, pasangan, sahabat, dan teman-teman, tidak ada magasalah. Apalagi kalau cuma memberi cokelat, kue, dan kado. (Yang mau memberi saya kado juga boleh koq, hehehe). Setiap tahun saya menikmati esensi Valentine's Day dengan berkumpul dan bermain bersama teman-teman, juga saling menukar kado. Nggak dosa kan? Dan saya paling senang, kalau mendapat materi di gereja sseperti yang sudah saya bagikan di atas. Sudah beberapa kali mendengarnya sih, tapi nggak bosan juga. Hitung-hitung refreshing otak juga kan?

Semoga bermanfaat ya buat Kompasianers yang lagi galau di penghujung bulan (yang katanya) penuh cinta ini. Udah, jangan galau dan baper dech! Say “hi” to March aja karena siapa tahu cintamu hadir di bulan ini, ya kan?

“Hi, March!!! Be nice!!!”

  

Bandung, 29 Februari 2016

Luana Yunaneva

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun