Menurut data Kepolisian Republik Indonesia, dalam sembilan bulan pada tahun 2024, penemuan mayat menjadi jenis gangguan keamanan terbanyak yang ditindak polisi, yaitu 35,46 persen dari total gangguan 3.698 kejadian. Dari jumlah itu, kurun waktu tiga bulan terakhir, setidaknya terdapat dua kasus besar yang menarik perhatian publik.Â
Pertama, kasus penemuan mayat sepasang suami-istri di Tangerang pada 5 September 2024. Polisi menyimpulkan peristiwa kematian istri merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami dengan motif ketidakharmonisan dalam rumah tangga, namun suami tidak bisa diproses hukum karena bunuh diri setelah membunuh istrinya dengan alasan beban psikologis.Â
Polisi menyimpulkan suami melakukan bunuh diri karena tidak terdapat adanya kerusakan pintu maupun jendela rumah, properti di dalam rumah dalam kondisi rapi, dan tidak tampak adanya kerusakan. Selain itu, ditemukan pula buku tulis yang menurut keterangan ahli bahasa, berasal dari tulisan tangan suami, yang berisi catatan tentang masalah mereka sebagai suami istri, utang piutang yang masih harus dibayar, pesan agar jenazah keduanya dikremasi dan abunya dibuang ke laut, serta catatan tentang penyerahan warisan.
Kedua, kasus penemuan mayat pria di kontrakan daerah Depok dalam kondisi menggenggam pisau pada 16 Agustus 2024. Awalnya, polisi sempat menduga ini kasus pembunuhan karena banyaknya rembesan darah, namun pada akhirnya polisi menyimpulkan kasusnya merupakan bunuh diri karena ditemukan catatan curhat di HP korban tentang kesulitan mencari kerja.Â
Penggunaan benda tajam seperti pisau untuk kasus pembunuhan atau bunuh diri terbilang cukup umum, namun menurut studi yang berkembang, bunuh diri yang dilakukan dengan senjata tajam hanya menyumbang 1,6-3 persen dari seluruh kasus bunuh diri. Sementara itu, studi The American Journal o Forensic Medicine and Pathology menyimpulkan bahwa luka tusuk dalam dan dangkal yang berjumlah lebih dari satu ditemukan pada 10 persen kasus pembunuhan, namun tidak ada satu pun kasus bunuh diri yang memiliki pola luka tusuk dalam dan dangkal. Sebaliknya, luka pisau pada kasus bunuh diri biasanya berupa sayatan, dan pada studi tersebut, ditemukan sebanyak 60 persen untuk kasus bunuh diri dan hanya 10 persen luka sayatan ditemukan pada kasus pembunuhan.
Jurnal lain dari Forensic Science International tahun 2006 menyatakan tidak ada bentuk luka spesifik yang bisa membedakan antara pembunuhan dan bunuh diri. Tusukan pada pembunuhan biasanya lebih dalam, fatal, dan memiliki bentuk yang ‘bersih’, namun tak jarang pula pembunuh memberikan penekanan dan memutar benda tajam sehingga menghasilkan luka yang tidak beraturan. Pembunuhan juga sering kali meninggalkan luka tusuk yang berjumlah lebih dari satu, biasanya dilakukan untuk memastikan korban benar-benar mati sebelum ia pergi dari tempat kejadian. Luka tusuk yang bertubi-tubi dan berlebihan mengindikasikan adanya motif dendam yang dimiliki pelaku. Sebagai catatan, menurut keterangan polisi, luka tusuk pada penemuan mayat di Tangerang berjumlah 8 tusukan pada suami dan 42 tusukan pada istri.Â
Sementara itu, International Journal of Mental Health Systems tahun 2014 mempublikasikan studinya mengenai cara bunuh diri yang sering dipilih, dimana bunuh diri dengan benda tajam juga sering dilakukan, namun dengan cara menyayat, bukan menusukkannya. Luka tusuk harus dilakukan dengan kuat dan tega agar seseorang mati. Pada umumnya, pelaku bunuh diri tidak memilih cara ini karena lebih sakit, sulit, dan masih ada cara lain yang dinilai lebih efisien, yaitu konsumsi obat atau zat beracun, atau dilakukan dengan cara gantung diri.Â
Mayat pria di kontrakan Depok ditemukan bersimbah darah di lantai kamar mandi dengan posisi tergeletak miring di lantai dan tangan kanan memegang pisau. Satu luka ditemukan di lehernya. Seorang saksi yang menemukan mayat melihat ceceran darah di depan pintu salah satu kamarnya. Sebelum menyimpulkan bunuh diri, ada baiknya polisi memastikan luka di leher korban apakah merupakan luka tusuk atau luka sayat, dilakukan dengan cara yang kuat, atau merupakan luka yang dangkal. Polisi juga perlu menelusuri lebih lanjut mengenai ceceran darah di depan pintu kamar korban, sementara korban ditemukan meninggal dunia di lantai kamar mandi.Â
Kesulitan penentuan penyebab kematian korban sebenarnya dapat diatasi dengan menginvestigasi kematian melalui metode autopsi psikologis. Setidaknya polisi sudah mencoba untuk menerapkan pemeriksaan menggunakan metode ini pada kasus penemuan mayat satu keluarga di Kalideres pada November 2022. Hasil pemeriksaan patologi dikombinasikan dengan autopsi psikologis forensik menyimpulkan bahwa kematian keempat korban disebabkan oleh hal yang wajar namun dalam kondisi yang tidak wajar.
Rudyanto Gunawan (71) ditemukan meninggal pertama kali di atas kasur kamar belakang dengan masalah pendaharan saluran cerna. Kemudian Reni Margareta (68), istrinya, ditemukan meninggal di kamar depan di atas kasur dengan penyakit kanker payudara karena adanya kelainan pada payudaranya dan ditemukan obat kanker payudara pada pemeriksaan tempat kejadian perkara. Mayat ketiga adalah Budyanto Gunawan (69), adik Rudyanto, ditemukan terlentang di sofa ruang tamu, meninggal karena serangan jantung karena adanya penebalan pembuluh nadi berdasarkan pemeriksaan dokter forensik. Mayat terakhir bernama Dian (40), anak Rudyanto dan Reni, ditemukan di lantai kamar depan karena sakit radang paru menahun dan penyakit pernapasan.
Polisi menyimpulkan bahwa keempat anggota keluarga itu meninggal bukan karena pembunuhan atau bunuh diri, melainkan meninggal secara wajar dalam kondisi yang tidak wajar. Berdasarkan pemeriksaan autopsi psikologis dengan melihat latar belakang masing-masing korban, diperoleh kesimpulan bahwa Rudyanto memiliki pribadi pendiam dan cenderung membatasi diri, sehingga untuk urusan pengobatan, ia mempercayakannya pada penyembuhan non-medis yang diyakini keluarganya. Ketika Rudyanto meninggal, keluarga tidak bisa memakamkan karena kondisi keuangan menipis. Sementara Reni, istrinya, memiliki kepribadian ingin tampil unggul, yang menyebabkan ia sungkan minta pertolongan keluarga untuk pemakaman, sehingga Rudyanto tidak dimakamkan. Pasca kematian Reni, keluarga yang tersisa tak kunjung memakamkan karena anak mereka, Dian, mengalami situasi denial atau penyangkalan.