Sejak awal tahun 2024, Kepolisian Republik Indonesia menangani 849 kejadian bunuh diri di Indonesia. Jumlah itu membuat bunuh diri menjadi ganguan ketertiban terbanyak keempat yang dilaporkan oleh masyarakat, berdasarkan data aplikasi DORS (Daily Operation Reporting System) yang diakses oleh Polri pada 19 Agustus 2024. Data juga menunjukkan, pelaku bunuh diri terbanyak berusia 26-45 tahun, melakukan bunuh diri karena alasan ekonomi, dan mayoritas berlatar bekalang pendidikan lulusan SMA.Â
Sementara itu, sebuah riset statistik tentang profil bunuh diri di Indonesia mencatat, Indonesia memiliki tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia, yakni 859,10 persen. Laporan itu juga menyebutkan provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi adalah Bali, dan cara bunuh diri terbanyak yaitu gantung diri. Riset ini menggunakan lima data berbeda antara tahun 2016-2021, yaitu data kepolisian, data register kematian, survei provinsi, sistem registrasi sampel, dan data Global Health Observatory WHO. Melalui kelima sumber data tersebut, peneliti memperkirakan provinsi dengan jumlah kasus dan upaya bunuh diri tertinggi namun tidak dilaporkan, mengidentifikasi gendernya, cara bunuh diri, serta membandingkan tingkat bunuh diri di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Sebagai wilayah dengan angka bunuh diri tertinggi, Provinsi Bali pernah menjadi objek penelitian dengan metode autopsi psikologis untuk mengetahui faktor penyebab bunuh diri. Hasilnya, 80 persen kasus bunuh diri di Bali disebabkan oleh gangguan mental. Adapun meningkatnya kasus bunuh diri di Bali berkaitan erat dengan faktor klinis, agama, dan psikologis. Dengan demikian, mengobati gangguan mental, memperbanyak aktivitas keagamaan, serta mencari cara untuk mengatasi masalah interpersonal, menjadi solusi terbaik guna mencegah tingginya tingkat bunuh diri di Bali.Â
Tidak hanya Bali, metode autopsi psikologis telah berkembang di banyak negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Selain sebagai metode untuk mengetahui penyebab bunuh diri, autopsi psikologis juga telah terbukti bermanfaat dalam mengklarifikasi kematian yang meragukan pada kasus bunuh diri. Proses investigasi dilakukan dengan cara mencari tahu kondisi mental seseorang sebelum bunuh diri guna mengetahui cara kematiannya, apakah alami, kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, atau tidak dapat ditentukan. Autopsi psikologis merupakan metode alternatif untuk mendapatkan bukti penyebab kematian yang mungkin tidak dapat ditentukan melalui autopsi medikolegal.
Meskipun begitu, autopsi psikologis belum banyak digunakan di Indonesia karena diragukan reliabilitas dan keakuratannya oleh sejumlah akademisi maupun praktisi pemeriksaan kematian. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mengungkapkan sejak awal 2023, Polri sudah menindak 1.680 kasus penemuan mayat di seluruh Indonesia, dengan penemuan mayat terbanyak di Jawa Tengah, yaitu 638 kasus (37,9 persen). Penulis tidak dapat menemukan data resmi terkait jumlah kasus yang cara kematiannya tidak dapat ditentukan di Indonesia, namun terdapat beberapa kasus belum terpecahkan yang cukup terkenal di Indonesia, salah satunya kasus kematian Akseyna Ahad Dori, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas pada Maret 2015.
Perkembangan Ilmu Forensik Autopsi Psikologis
Menurut sejarahnya, jejak pertama autopsi psikologis ditemukan di Los Angeles, Amerika Serikat, ketika T.J. Curphey menyusun panduan untuk menyelidiki tingginya angka kematian karena penyalahgunaan zat tertentu di daerah tersebut. Pekerjaan itu lalu dikembangkan oleh dua orang psikolog, yaitu Shneidman dan Farberow pada akhir 1950-an dan 1960-an, dimana mereka menggunakan panduan itu untuk menyelidiki cara kematian yang tidak dapat ditentukan apakah pembunuhan atau bunuh diri.
Salah satu temuan utama dari Shneidman adalah pentingnya untuk fokus pada hubungan pribadi korban, apakah dengan kerabat, teman, kolega, bahkan orang-orang yang sekilas mengenal korban, seperti barista, pelayan restoran, atau pegawai pada tempat-tempat yang rutin dikunjungi korban. Dari mereka, dapat diketahui informasi akurat tentang perjalanan hidup korban, kebiasaan hidupnya, atau hal-hal yang sedang menarik perhatiannya beberapa saat sebelum kematian. Informasi-informasi tersebut kemudian disandingkan dengan temuan penyidik atau petugas medis yang melakukan pemeriksaan medikolegal, maupun hasil rekaman medis korban.Â
Melalui temuan penting itu, pada tahun 1970-an, Shneidman mengembangkan 16 jenis pedoman yang harus diikuti pada saat mengumpulkan informasi selama melakukan pemeriksaan autopsi psikologis. Shneidman memfokuskan pedomannya pada pertanyaan-pertanyaan seputar informasi tentang korban, mulai dari riwayat hidup, kepribadian, pola atau kebiasaan hidup, hubungan personalnya dengan orang lain, pemikiran, angan-angan, ketakutan, niat serta keseriusan tentang kematiannya, hingga informasi spesifik tentang kematiannya, termasuk pula informasi tentang riwayat hidup keluarga korban, penilaian dan reaksi keluarga maupun kerabat tentang niat korban terhadap kematiannya, serta komentar tentang hal-hal spesifik lainnya tentang korban.
Setelah dua dekade diaplikasikan, keakuratan pedoman Shneidman mulai dipertanyakan, terutama berkaitan dengan pemilihan orang-orang yang diwawancarai dan berapa lama jeda waktu antara peristiwa kematian dengan waktu wawancara dilakukan (berkaitan dengan daya ingat seseorang). Para ahli yang menekuni bidang ilmu autopsi psikologis pun mulai mengembangkan pedoman baru untuk mengatasi permasalahan tersebut, termasuk mengenai jumlah orang yang sebaiknya terlibat dalam melakukan wawancara.
Perkembangan penelitian paling menonjol berikutnya terjadi di Cuba, Havana, dimana korban-korban yang meninggal karena penyiksaan diteliti. Dari sinilah kemudian berkembang pedoman baru dalam metode autopsi psikologis, berisi 26 pedoman, dikenal dengan istilah MAP (Modelo de Autopsia Psicologica). MAP kemudian dikembangkan lagi oleh Institute of Forensic Medicine of the City of Havana, sebagai bagian dari pemerintahan Cuba, dengan cara menambahkan pedoman-pedoman baru dalam melakukan wawancara, yaitu menjadi 59 pedoman, yang dinamakan MAPI (Modelo de Autopsia Psicologica Integrado). Pedoman ini dikembangkan dengan cara melakukan survei terhadap korban bunuh diri, pembunuhan, dan kecelakaan.
Pada masa kini, para ahli autopsi psikologis telah menggunakan metode baru yang merupakan pengembangan dari pedoman MAPI di Cuba, disebut dengan pedoman PASIC (Psychological Autopsy Structured on Individual Cases). Mulai dipublikasikan tahun 2021, pedoman PASIC mengutamakan pendekatan interdisiplin ilmu dengan memanfaatkan peranan ahli kriminologi dalam penelitiannya, sehingga lebih efektif digunakan pada kasus-kasus yang lebih variatif.Â
PASIC diciptakan melalui penelitian terhadap delapan kasus lama yang belum terpecahkan antara tahun 1960-1970 di Milan, Italia. Wawancara dilakukan dengan orang-orang terdekat korban, dipadukan dengan penemuan bukti-bukti langsung dari tempat kejadian perkara yang sudah tersembunyi selama puluhan tahun. Oleh karena itu, perlu ada kedekatan personal terlebih dahulu antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai agar muncul rasa percaya, serta si pewawancara harus orang yang ahli di bidangnya.
Secara garis besar, jenis informasi yang hendak didapatkan dari orang yang diwawancarai pada metode PASIC serupa dengan pedoman Shneidman maupun MAP dan MAPI yang dikembangkan oleh pemerintah Cuba. Perbedaan signifikan terletak pada prosedur dan cara wawancara tersebut dilakukan guna mendapatkan hasil yang lebih akurat, objektif, dan informasi yang disampaikan diyakini kebenarannya.
Prosedur umum yang harus dipegang oleh pewawancara adalah jenis pertanyaan yang diajukan haruslah pertanyaan yang bersifat terbuka. Hal ini bertujuan agar lebih banyak informasi yang dapat digali dari pihak yang diwawancarai. Kemudian, pertanyaan yang bersifat subjektif sebaiknya tidak ditanyakan kepada orang yang diwawancarai.
Keakuratan informasi menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam menjalankan metode PASIC. Keakuratan informasi dapat diuji secara eksternal maupun internal. Pengujian secara eksternal dapat dilakukan dengan cara mencocokkan informasi tersebut dengan bukti lainnya, seperti isi pesan atau GPS yang dapat dicek keabsahannya menggunakan digital forensik. Sedangkan pengujian informasi secara internal berkaitan dengan logika, ketepatan informasi, kecocokan antara waktu dan tempat, serta kekayaan rincian informasi yang harus dapat diidentifikasi kebenarannya.
Berkaitan dengan pengujian keakuratan informasi, terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk memvalidasi keakuratan informasi tersebut. Pertama, memverifikasi kebenaran cerita melalui teknik CBCA (Criteria Based Content Analysis). Teknik ini biasanya dipakai untuk membedakan antara cerita yang sebenarnya dengan cerita yang tidak konsisten.Â
Kedua, menguji apakah informasi yang diberikan adalah fakta atau persepsi melalui teknik Reality Monitoring. Teknik ini berkaitan dengan apa yang dirasakan oleh orang yang diwawancarai saat menceritakan tentang peristiwa kematian korban. Berikutnya, teknik untuk menguji daya ingat pihak yang diwawancarai, dan terakhir, menguji kesesuaian antara cerita dengan ekspresi wajah menggunakan teknik EMFACS (Emotion Facial Action Coding System). Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan teknik ini pada metode PASIC adalah jarak waktu antara selesainya pertanyaan diajukan dengan dimulainya respon yang dapat mempengaruhi kebenaran dari informasi yang disampaikan.Â
Upaya Penerapan Autopsi Psikologis di Indonesia
Pada dasarnya, autopsi psikologis digunakan untuk membuat terang suatu kasus yang masih misterius. Dalam konteks Indonesia, untuk memberikan kepastian apakah penyidik sedang berkutat pada kasus bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan. Autopsi psikologis bukan pada posisi hendak menggantikan pemeriksaan patologi yang biasa diterapkan untuk menentukan cara kematian seseorang, melainkan, ia dapat berjalan beriringan dengan pemeriksaan medikolegal untuk memperjelas, bahkan memvalidasi, jika memungkinkan, sebab dan cara kematian seseorang.
Autopsi psikologis merupakan contoh dari perkembangan metode riset yang berkaitan dengan ilmu forensik, investigasi, dan ilmu sosial. Ia dilakukan dengan cara mempelajari dan mendefinisikan keadaan psikologis korban, menekankan pentingnya hubungan pelaku dengan korban, kisah hidup keduanya, kebiasaan, hubungan sosial, dan rekam medis korban.
Layaknya pemeriksaan patologi, autopsi psikologis pun menekankan pentingnya pemeriksaan tempat kejadian perkara (crime scene). Hanya saja, pada pemeriksaan patologi, waktu memainkan peranan cukup penting, dan pada kasus-kasus lama, hampir tidak mungkin mendapatkan bukti-bukti utuh dari tempat kejadian perkara. Di sini lah jejak psikologis mengambil peranan karena penyelidikannya tidak harus dipengaruhi oleh kecepatan waktu. Autopsi psikologis dijalankan dengan cara mewawancarai orang-orang yang dekat dengan korban, dan jika dilakukan secara efektif, banyak informasi penting dapat ditemukan.
Menurut data Kepolisian Republik Indonesia, dalam sembilan bulan pada tahun 2024, penemuan mayat menjadi jenis gangguan keamanan terbanyak yang ditindak polisi, yaitu 35,46 persen dari total gangguan 3.698 kejadian. Dari jumlah itu, kurun waktu tiga bulan terakhir, setidaknya terdapat dua kasus besar yang menarik perhatian publik.Â
Pertama, kasus penemuan mayat sepasang suami-istri di Tangerang pada 5 September 2024. Polisi menyimpulkan peristiwa kematian istri merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami dengan motif ketidakharmonisan dalam rumah tangga, namun suami tidak bisa diproses hukum karena bunuh diri setelah membunuh istrinya dengan alasan beban psikologis.Â
Polisi menyimpulkan suami melakukan bunuh diri karena tidak terdapat adanya kerusakan pintu maupun jendela rumah, properti di dalam rumah dalam kondisi rapi, dan tidak tampak adanya kerusakan. Selain itu, ditemukan pula buku tulis yang menurut keterangan ahli bahasa, berasal dari tulisan tangan suami, yang berisi catatan tentang masalah mereka sebagai suami istri, utang piutang yang masih harus dibayar, pesan agar jenazah keduanya dikremasi dan abunya dibuang ke laut, serta catatan tentang penyerahan warisan.
Kedua, kasus penemuan mayat pria di kontrakan daerah Depok dalam kondisi menggenggam pisau pada 16 Agustus 2024. Awalnya, polisi sempat menduga ini kasus pembunuhan karena banyaknya rembesan darah, namun pada akhirnya polisi menyimpulkan kasusnya merupakan bunuh diri karena ditemukan catatan curhat di HP korban tentang kesulitan mencari kerja.Â
Penggunaan benda tajam seperti pisau untuk kasus pembunuhan atau bunuh diri terbilang cukup umum, namun menurut studi yang berkembang, bunuh diri yang dilakukan dengan senjata tajam hanya menyumbang 1,6-3 persen dari seluruh kasus bunuh diri. Sementara itu, studi The American Journal o Forensic Medicine and Pathology menyimpulkan bahwa luka tusuk dalam dan dangkal yang berjumlah lebih dari satu ditemukan pada 10 persen kasus pembunuhan, namun tidak ada satu pun kasus bunuh diri yang memiliki pola luka tusuk dalam dan dangkal. Sebaliknya, luka pisau pada kasus bunuh diri biasanya berupa sayatan, dan pada studi tersebut, ditemukan sebanyak 60 persen untuk kasus bunuh diri dan hanya 10 persen luka sayatan ditemukan pada kasus pembunuhan.
Jurnal lain dari Forensic Science International tahun 2006 menyatakan tidak ada bentuk luka spesifik yang bisa membedakan antara pembunuhan dan bunuh diri. Tusukan pada pembunuhan biasanya lebih dalam, fatal, dan memiliki bentuk yang ‘bersih’, namun tak jarang pula pembunuh memberikan penekanan dan memutar benda tajam sehingga menghasilkan luka yang tidak beraturan. Pembunuhan juga sering kali meninggalkan luka tusuk yang berjumlah lebih dari satu, biasanya dilakukan untuk memastikan korban benar-benar mati sebelum ia pergi dari tempat kejadian. Luka tusuk yang bertubi-tubi dan berlebihan mengindikasikan adanya motif dendam yang dimiliki pelaku. Sebagai catatan, menurut keterangan polisi, luka tusuk pada penemuan mayat di Tangerang berjumlah 8 tusukan pada suami dan 42 tusukan pada istri.Â
Sementara itu, International Journal of Mental Health Systems tahun 2014 mempublikasikan studinya mengenai cara bunuh diri yang sering dipilih, dimana bunuh diri dengan benda tajam juga sering dilakukan, namun dengan cara menyayat, bukan menusukkannya. Luka tusuk harus dilakukan dengan kuat dan tega agar seseorang mati. Pada umumnya, pelaku bunuh diri tidak memilih cara ini karena lebih sakit, sulit, dan masih ada cara lain yang dinilai lebih efisien, yaitu konsumsi obat atau zat beracun, atau dilakukan dengan cara gantung diri.Â
Mayat pria di kontrakan Depok ditemukan bersimbah darah di lantai kamar mandi dengan posisi tergeletak miring di lantai dan tangan kanan memegang pisau. Satu luka ditemukan di lehernya. Seorang saksi yang menemukan mayat melihat ceceran darah di depan pintu salah satu kamarnya. Sebelum menyimpulkan bunuh diri, ada baiknya polisi memastikan luka di leher korban apakah merupakan luka tusuk atau luka sayat, dilakukan dengan cara yang kuat, atau merupakan luka yang dangkal. Polisi juga perlu menelusuri lebih lanjut mengenai ceceran darah di depan pintu kamar korban, sementara korban ditemukan meninggal dunia di lantai kamar mandi.Â
Kesulitan penentuan penyebab kematian korban sebenarnya dapat diatasi dengan menginvestigasi kematian melalui metode autopsi psikologis. Setidaknya polisi sudah mencoba untuk menerapkan pemeriksaan menggunakan metode ini pada kasus penemuan mayat satu keluarga di Kalideres pada November 2022. Hasil pemeriksaan patologi dikombinasikan dengan autopsi psikologis forensik menyimpulkan bahwa kematian keempat korban disebabkan oleh hal yang wajar namun dalam kondisi yang tidak wajar.
Rudyanto Gunawan (71) ditemukan meninggal pertama kali di atas kasur kamar belakang dengan masalah pendaharan saluran cerna. Kemudian Reni Margareta (68), istrinya, ditemukan meninggal di kamar depan di atas kasur dengan penyakit kanker payudara karena adanya kelainan pada payudaranya dan ditemukan obat kanker payudara pada pemeriksaan tempat kejadian perkara. Mayat ketiga adalah Budyanto Gunawan (69), adik Rudyanto, ditemukan terlentang di sofa ruang tamu, meninggal karena serangan jantung karena adanya penebalan pembuluh nadi berdasarkan pemeriksaan dokter forensik. Mayat terakhir bernama Dian (40), anak Rudyanto dan Reni, ditemukan di lantai kamar depan karena sakit radang paru menahun dan penyakit pernapasan.
Polisi menyimpulkan bahwa keempat anggota keluarga itu meninggal bukan karena pembunuhan atau bunuh diri, melainkan meninggal secara wajar dalam kondisi yang tidak wajar. Berdasarkan pemeriksaan autopsi psikologis dengan melihat latar belakang masing-masing korban, diperoleh kesimpulan bahwa Rudyanto memiliki pribadi pendiam dan cenderung membatasi diri, sehingga untuk urusan pengobatan, ia mempercayakannya pada penyembuhan non-medis yang diyakini keluarganya. Ketika Rudyanto meninggal, keluarga tidak bisa memakamkan karena kondisi keuangan menipis. Sementara Reni, istrinya, memiliki kepribadian ingin tampil unggul, yang menyebabkan ia sungkan minta pertolongan keluarga untuk pemakaman, sehingga Rudyanto tidak dimakamkan. Pasca kematian Reni, keluarga yang tersisa tak kunjung memakamkan karena anak mereka, Dian, mengalami situasi denial atau penyangkalan.
Adapun Budyanto menyukai hal-hal yang bersifat perdukunan dan sewaktu anggota keluarganya sakit, ia mencari pengobatan alternatif. Tapi karena cara yang diyakininya tidak kunjung memenuhi harapan, ada pergeseran situasi dari berharap menjadi tidak ada harapan. Ini yang memicu stres serta memperburuk kondisi fisik dan kesehatan Budyanto, hingga ia meninggal dunia karena serangan jantung. Kematian ketiga anggota keluarganya membuat Dian semakin tidak berdaya karena tidak punya sumber daya untuk menghadapi situasi kehilangan yang intens. Sumber keuangan habis, aset pun tidak ada, membuat keadaan psikologinya tidak berdaya. Akan tetapi, secara keseluruhan, ahli autopsi psikologis forensik beranggapan keempat korban tidak memiliki perilaku yang mengarah pada bunuh diri.
Selain pertimbangan untuk menerapkan ilmu autopsi psikologis forensik pada kasus-kasus penemuan mayat yang sulit ditentukan penyebab kematiannya, apakah meninggal secara wajar (natural) karena sakit, atau meninggal karena bunuh diri atau pembunuhan, ada baiknya pemerintah juga mulai mempertimbangkan untuk membentuk sistem atau lembaga pemeriksaan kematian yang independen dan imparsial.
Diskusi tentang institusi pemeriksa kematian yang independen (bebas dari tekanan) dan imparsial (tidak memihak) kerap muncul ketika terjadi kematian pada seseorang yang tengah berada di dalam perlindungan negara atau kematian di tangan penegak hukum. Hal itu setidaknya terjadi pada kasus kematian terduga teroris Siyono tahun 2016, kontroversi hasil autopsi Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), dan kematian di tahanan maupun lapas.Â
Amerika Serikat memiliki coroner, pemeriksa kematian independen, yang bertugas menyelidiki penemuan mayat atau peristiwa kematian yang diduga tidak wajar. Dalam menyelidiki kasus kematian Kristen Trickle di Kansas City pada tahun 2019, coroner menemukan kejanggalan bahwa ia meninggal dunia karena bunuh diri. Dua tahun setelah kematian Kristen, suaminya, Colby Alan Trickle, dinyatakan bersalah atas pembunuhan Kristen dan dijatuhi pidana penjara selama 50 tahun tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Barangkali institusi kematian independen serupa dapat dibentuk di Indonesia untuk menyelidiki penyebab kematian-kematian tidak wajar yang tidak dapat ditentukan oleh kepolisian, termasuk di antaranya penemuan mayat sepasang suami-istri di Tangerang pada 5 September 2024 dan penemuan mayat seorang pria yang bersimbah darah di kontrakan daerah Depok pada 16 Agustus 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H