"Pak..pak...pak Erik!" teriakku sembari berlari. Namun ia tidak mendengar. Ini dosen pura-pura tuli atau memang tuli sih?" batinku kesal.
Tiba-tiba saja....
Bukkk...aku terpeleset di lantai. Untung tidak ada mahasiswa yang lalu lalang kalau tidak aku akan mendapat ejekan lagi.
"Hei, Cia. Kamu tidak apa-apa?" terdengar suara pak Erik. Tangannya sembari membersihkan debu yang menempel di bajuku.
"Aduh! Ti..tidak apa-apa pak" jawabku gugup sambil berdiri. "Aku hanya mau kasih ini!" Kataku lalu mengembalikan jas hitam miliknya.
"Oh iya. Saya kelupaan. Terima kasih ya" balasnya tersenyum manis. Ya, ampun hanya melihat senyumannya sudah membuat jantung berdebar gak karuan.
"P..pak..saya minta maaf atas sikap saya yang tidak sopan tadi pagi. Saya hanya beranggapan kalau bapak bukan dosen saya. Eh..sekali lagi maaf ya pak?" pintaku berharap dimaafkan.
"Hmm...sudah, lupakan saja. saya memang sering mendapat kejadian seperti itu. Saya pergi dulu" jawabnya tersenyum lagi lalu meninggalkanku.
"Habis, bapak terlalu muda sih jadi dosen." batinku dalam hati tersenyum.
Sejak saat itu aku penasaran dengan pak Erik dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentangnya. Ternyata ia si jenius itu lulusan termuda dari UGM kelahiran 1992. Pantesan aja, usianya masih 26 tahun sudah menjadi dosen. Untunglah, ia hanya lebih tua empat tahun dariku.
Tidak terasa sudah tiga bulan dia mengajar. Tak dapat kubohongi kalau aku merasa nyaman di dekatnya apalagi dia adalah dosen pembimbingku, hampir setiap hari aku bertemu dan menanyakan tugas padanya. Bagaimana mungkin benih cinta ini tidak muncul. Namun aku tidak tahu dengan dia. Dia membantuku menyukai jurusanku dan mengembangkan hobi bermain musik. Satu hal lagi dia membuatku takut kehilangannya.