Mohon tunggu...
Lourdes Florentine Mariso
Lourdes Florentine Mariso Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

écriture [Personal Blog]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Semesta, Ketahuilah Aku Rindu

10 April 2016   17:35 Diperbarui: 10 April 2016   18:07 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber : kiokarma.com"][/caption]

Sekalipun aku hanya menjadi sebuah pelabuhan yang tiada pernah diingat; aku takkan lagi bersedih.

Bagaimanapun pilu menggerogoti sukma kian binasa dari padaku; aku takkan lagi menangis.

Sejauh apapun jarak yang sedekat apapun lupa terhadap pertemuan yang jadi sebegini lepasnya; aku takkan sanggup membencimu. Tidak, Sayang.

Entah semenjak dan sampai kapanpun itu; alasan tetap mengalpa dari doaku.

Karenanyalah, dinamakan rindu.

 

***

 

Berbahagialah ia yang merindu, memiliki rindu, dan menyimpan rindu.

Pun dengan senandung kenangan.

Sebab rindu lahir tak jauh dari sepotong kenangan. Yang pernah tumbuh merekah di balik singgasana nan esa, tunggal hingga tiada sajak yang sanggup menanggalkannya. Selain kehilangan. Tentu saja.

Siapa paling lemah melawan desir kehilangan? Tak sebuku jaripun ada. Sebab semua sama lemahnya di batas kecintaannya masing-masing.

Ya, beginilah pengadaan rindu di tengah ketiadaan.

Layangkan ragu sambil menimbang-nimbang rupa rindu itu sendiri.

Mengurai ribuan sunyi di tengah pikiran yang mengawan.

Ingin bersua mimpi dimana barang satu-satunya cara adalah dengan mengeparatkan waktu.

Di tengah tergelarnya remah-remah ingatan di bawah langit.

Bagi bintang yang Tuhan izinkan bersinar walaupun sesaat.

Untuk menarik sang cakrawala kembali. Untuk menarik rotasi bumi kembali. Untuk menarik epos cintamu kembali

 

***

 

Kendati demikian, rajutlah kenangan agar kau--sebagai hamba yang seringkali dari kita buta--mengenal siapa itu rindu.

Agar dirimu menangkap perihal apa yang paling sanggup diperbuatnya.

Hati-hatilah. Banyak bajingan melucuti keperawanan iman. Seakan hidup seharga kuat dan terlewat benar. Mengadili hukum tanpa undang-undang dan memperkarakan para pejuangnya dengan hanya sebelah mata. Enggan menoleh dan mempersembahkan tanya bagi diri:

Tanpa kenangan, tahu apa kau tentang rindu?

Sampai sedemikian lantangnya melakukan penghakiman paling hati terhadap mereka yang menuai pesakitan?

 

***

 

Tuhan, mohon beri pengampunan.

Diri nan hina ini sadar tiada layak mengutarakan apapun kepada-Mu.

Akan tetapi, siapa lagi, Tuhan? Siapa lagi?

Siapa lagi teramat paham mengenal palungnya lara yang tiada tersembuhkan ini?

 

***

 

Biar tahun ini genap menjerat satu dijadikan dua, tiga, dan berlanjut; aku tetap percaya pada daun.

Daun gugur memangku musim yang di ulang.

Membingkai potret demi potret perjalanan kita.

Tentang makna yang belum dapat kuurai tatkala kau menemani dan membimbing.

Tentang makna yang masih kucari di setiap bilik sabdamu.

Tentang makna yang kutangisi seorang sehabis dirimu menutup buku.

 

***

 

Adakah maksud sengaja membiarkan 'tuk menulis sajak begitu angkasa dan begitu terjalnya seorang diri?

Adakah dirimu sempat melamunkannya sebelum menghabisi secangkir kopi dan perjalanan kita?

 

Entahlah, semoga saja rindu ini sampai padamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun