Konon, untuk memasuki objek wisata ini, pengunjung wajib membayar tiket masuk sebesar Rp. 25.000,- per orang. Namun, karena masih pagi dan tidak ada penjaga, kami masuk dengan gratis.
Begitu keluar dari mobil, sejauh mata memandang, kami disuguhkan pada suasana mirip di Jepang. Kolam air panas belerang yang luas dan dikelilingi pohon pinus, telah ditata rapih dengan pedestrian yang memudahkan pengunjung untuk keliling.
Saat itu, saya dan tamu dari Jakarta, tidak langsung menuju jembatan. Tetapi, kami langsung mengarah ke pinggir kolam yang berbatuan.
Tujuannya mengecek apakah air kolam yang berwana seperti susu itu panas atau tidak. Sedikit berjalan turun dari tempat parkir, teman saya mencoba membasahi tangannya dengan air.
"Hangat rasanya. Tapi kalau yang dekat letupan air ini, airnya panas. Batunya juga panas," kata Fery sambil mengibaskan tangannya karena panas.
Rupanya, jika melihat adanya letupan air di pinggir kolam, itu tandanya sumber air panas. Tanda lainnya suara berdesis yang keluar dari celah-celah batu dan dibarengi semburan uap yang kalau kena di tangan terasa panas.
"Hati-hati Lumpur Panas" begitu tanda peringatan bagi wisatawan yang ditulis dan diletakkan di sekitar kolam-kolam berisi lumpur sulfur panas dengan bau belerang yang kadang menyengat hidung.
Dari pinggir kolam, kami bergerak menuju pedestrian yang berpagar kayu dengan model ala "Jepang" untuk mengelilingi kolam sulfur. Di atas jembatan inilah, kami sempat berfoto.