Oh ya, mas Boni menyambut kami dengan ramah. Ketika saya menanyakan fasilitas apa saja yang bisa didapat untuk para tamu di Glamping Kema Merbabu. Mas Boni, menjawab, "Di setiap tenda sudah ada kamar mandi yang dilengkapi dengan air panas, handuk, perlengkapan mandi, dan pagi dapat sarapan. Boleh pilih nasi goreng atau roti sosis".
Mas Boni juga cerita, matahari terbit bisa dilihat dari teras tenda. Kelap-kelip lampu kota Boyolali juga bisa dilihat, asal kabut tidak turun. Suhu udara di Kema Merbabu bisa mencapai 16 derajat Celsius. Siapkan baju hangat untuk melawan tua eh dingin, canda mas Boni.
Di kaki Gunung Lokon, Tomohon, tergantung musim, suhu udara bisa mencapai 19 derajat di malam hingga subuh. Jadi, saya sesungguhnya sudah terbiasa hidup di tempat yang dingin. Ya karena saya tinggal di Tomohon. Beda di Bromo, wah di sana namanya kedinginan banget. Suhu udara di Bromo apalagi di spot Penanjakan bisa sampai 6 derajat.
Singkat cerita setelah mandi, saya menuju ke cafe. Lalu pesan untuk makan malam. Mereka berjanji akan mengantar ke tenda kami. Kami tunggu.
Esok harinya saya bangun lebih awal untuk melihat matahari terbit. Tetapi tidak beruntung karena selain posisi terbitnya dari arah sebelah Utara (pernah posisi terbit ini viral di media masa) juga tertutup awan. Yah, Cuma dapat semburat warna merahnya saja.
Untuk berkomunikasi dengan pihak Kema Merbabau, Mas Boni, saya menggunakan WA. Melalui WA saya diberitahu bahwa Cafe buka dari jam 09.00 hingga 20.00. "Jika berkenan minum kopi dan snack" katanya sambil kirim cuplikan layar daftar menu Cafe.
Pagi harinya, pesan WA saya berbunyi. Ternyata pihak Kema Merbabu mengirim pesan tentang aktifitas jalan-jalan ke pertanian milik warga, seperti mas Boni sampaikan kemarin, akan dilaksanakan setelah sarapan dan dipandu oleh mas Rahmat. Lalu saya balas dengan kata "asyiaap".
Oh ya, mengapa mas Boni menawari saya untuk beraktifitas "petik sayur" di kebun warga. Memang ada kisahnya yang kebetulan.