"Ironis ya. Di Raja Ampat tampak bersih dari sampah, tetapi Indonesia dikatakan sumber pencemaran sampah plastik di laut terbesar ke dua di dunia. Makin miris lagi kalau mendengar hasil penelitian LIPI tentang sampah plastik di laut Indonesia. Tapi saya harap kalian jangan sampai benci makan seafood lho" canda saya di hadapan para siswa yang raut mukanya tampak menerka-nerka arti perkataan saya tadi.
"Peneliti LIPI menyebutkan bahwa sampah plastik yang masuk ke laut sangat berbahaya bagi hewan yang hidup di laut. Karena proses alamiah pada akhirnya sampah plastik di laut terurai menjadi kecil-kecil ukurannya. Ukuran plastik terkecil disebut dengan mikroplastik dan nanoplastik adalah ukuran terkecil. Plastik ukuran kecil inilah yang tanpa sengaja ditelan oleh mamalia laut, burung laut, ikan, kerang, penyu dan plankton. Singkat kata, ketika manusia mengkonsumsi makanan seafood, termasuk ikan-ikannya, dan sembari menikmati lezatnya asupan seafood, tanpa sengaja nanoplastik tadi ikut tertelan dan pada akhirnya bersarang dalam tubuh melalui aliran darah. Kata peneliti, tidak menutup kemungkinan, nanoplastik inilah penyebab kanker dan penyakit kronis lainnya" sambung saya.
"Ahh, Pak Tri ini nakut-nakutin aja" seru Sabet dengan suara lantang. Reaksi Sabet itu barangkali karena teringat saat makan ikan bakar kesukaannya selama ini. Bukan hanya itu, Sabet dan teman-temannya teringat kepada pamong asramanya yang marah-marah kalau melihat ada siswa buang sampah plastik sembarangan. "Kesadaran tidak cukup kalau tidak disertai dengan sikap disiplin diri" ujar saya menegaskan tentang kebiasaan buang sampah pada tempatnya di hadapan mereka.
"Kebijakan kantong plastik berbayar di supermarket, termasuk solusi untuk mengurangi sampah plastik. Hanya kebijakan penerintah itu sekarang seperti angin lalu. Tapi kita sebagai warga masyarakat harus membangun sikap untuk mulai tidak mau lagi pakai tas kresek" menyambung pikiran Fretes tadi.
Tak terasa jarum jam sudah bergerak ke angka satu lebih. Terik matahari semakin terasa menyengat di badan. Dari dahi, butir-butir keringat mulai menetes. Pak Sam memberi aba-aba ke Om Papua agar motor kapal dihidupkan. Tak beberapa lama kami berpamitan ke warga kampung wisata Arborek untuk kembali ke Waisai.
Isu global pencemaran lingkungan laut, saya perkuat dengan menyodorkan tabel informasi tentang akibat buruk adanya sampah plastik laut bagi kelangsungan ekosistem, industri wisata dan lingkungan hidup. Tak hanya itu, isu memerangi sampah laut akan terus disosialisasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan 11 Kementerian lainnya.
Tak sia-sia kami bisa liburan ke Raja Ampat khususnya saat menyambangi Kampung Wisata Arborek. Saya berharap siswa saya nanti ikut mengkampanyekan isu #lautkubebassampah demi tercapainya Indonesia Bebas Sampah 2020. Meski kurang dua tahun lagi, semua pihak layak dan pantas selalu optimis bahwa Indonesia sebagai negara maritim, ke depannya, mampu mewujudkan Indonesia Bebas Sampah.
Jenna Jambeck, seorang peneliti lingkungan, menyatakan pendapatnya, "Penanganan pencemaran (laut) sebaiknya lebih berfokus dalam membersihkan sampah di daratan pemukiman dan sungai daripada mengambil plastik yang sudah mengambang di lautan".