Kata "Piaynemo" ternyata ada artinya. Sambil menikmati kopi hitam, di beranda dekat ruang makan, Â saya ngobrol dengan Om Elly, pemilik Homestay Piaynemo. Semilir angin dan gemercik air laut memberi nuansa alam setiap perbincangan kami.
"Piaynemo itu sambungan antara bagian kepala dan gagang tombak. Orang Papua menyebutnya harpun. Tombak dihubungkan dengan tali atau rantai, gunanya untuk mempermudah menarik ikan buruan yang tertombak" cerita Om Elly sambil menghisap rokok putihnya.
"Lokasi ini berada di pulau Piaynemo. Bentuk pulau ya seperti sambungan tombak tadi. Memang, harus dilihat dari atas, bentuk pulau ini seperti barang itu" lanjut Om Elly.
Cerita dan keramahtamahan Om Elly semakin membuat saya betah tinggal di homestay ini. Semalam, diiringi gemercik gerimis, saya bisa tidur nyenyak sekali. Udara yang sejuk dan kamar yang nyaman, rupanya menghilangkan kepenatan badan setelah mengalami tragedi di tengah laut dan kesasar di Pulau Gag. Silahkan membaca di tulisan yang lalu di sini.
Saya sering melihat rombongan burung nuri berwarna hijau merah terbang di atas penginapan sambil bersiul riang seperti sedang bergurau. Dua belibis warna putih hitam setiap saat terbang rendah  dan hinggap di ujung dermaga sambil berceloteh keras saat berpindah tempat ke pepohonan.
Menginap di Piaynemo dijadwalkan  setelah dari Pulau Wajag. Saat dalam perjalanan pulang dari Wajag, kami mendapat musibah. Salah satu mesin motor kapal mati dan sambil menunggu diperbaiki, kapal bermotor terombang-ambing karena ombak laut tinggi disertai hujan deras. Akhirnya, kami kesasar ke Pulau Gag dan menginap semalam di kantor Kampung Gag.
Penginapan ini memiliki dua pondok. Setiap pondok ada tempat tidur berukuran besar yang dilengkapi dengan kelambu dan kamar mandi dalam. Setiap pondok ada terasnya. Di dekat ruang makan tersedia kamar-kamar untuk tidur, tetapi kamar mandinya di luar. Tamu juga bisa memakai perahu kano untuk berkeliling di sekitar penginapan.
Ruang dapur dan ruang santai dibangun tersendiri. Di belakang bangunan, ada jalan setapak berlantai kayu ulin menuju ke pantai berpasir putih. Saya sempat berburu matahari terbenam di pantai ini. Angin dari Barat cukup kencang sehingga jalan-jalan di pantai tidak terlalu lama. Sementara angin Timur terasa semilir saat berada di pondok.
Sehabis makan pagi, sekitar jam 9, dengan menggunakan speedboat, kami menuju ke puncak Telaga Bintang. Tak kurang dari 10 menit jaraknya dari homestay kami sudah sampai.
Dengan hati-hati kami menginjak tangga jalur naik di atas karang-karang yang sebagian disemen. Lumayan tinggi dan melelahkan. Namun kelelahan itu terbayar ketika sampai di puncak pemandangan alamnya sungguh menakjubkan. Dari atas puncak, air laut di bawah terlihat berwarna hijau tosca. Sungguh indah untuk dinikmati.
Dari puncak telaga bintang, kami berlayar menuju ke puncak Piaynemo. Puncak perbukitan Kars ini ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Raja Ampat setempat sebagai Situs Warisan Bentang Alam. Tak heran banyak wisatawan berkunjung di tempat ini.
"Buat kenang-kenangan dan keselamatan pak" ujar Yansen saat saya tanya. Bagi Yansen, kalung ikan dipercaya untuk tolak bala saat berada di laut dan mengusir energi negatif. Saya pun tidak begitu tahu tentang nilai magis kalung ikan itu, tetapi setelah itu perjalanan kami di atas laut berjalan mulus.
Di bawah papan nama bertuliskan "Welcome to Piaynemo Island Raja Ampat" tergeletak banyak Kepiting Kenari (Coconut Crab) atau Birgus Latro, nama ilmiahnya, ukuran besar dan kecil. Kepada penjual, saya bertanya berapa harganya. Kebetulan ada wisatawan yang tertarik membeli dan terjadi tawar menawar. Ternyata yang paling besar dijual 200 ribu, yang ukuran sedang 150 ribu per ekor.
Tak urung kami berfoto ria di atas puncak. Konon Presiden Jokowi sudah pernah swafoto di lokasi itu. Sempat pula saya berbincang dengan anak-anak papua yang bermain di puncak. Mereka berbaur ramah dengan wisatawan lain sebagai tuan rumah yang baik.
Tangga kepuncak bukan satu. Sedang dikerjakan jalur ke dua. Saat mendekati para pekerja, saya mendengar mereka bicara dengan menggunakan Bahasa Jawa. Lalu, saya berhenti dan ngobrpl dengan mereka dalam Bahasa Jawa. Ternyata mereka dari Mranggen, Semarang dan Karanganyar, Solo. Dari cerita para tukang, pembuatan jalur kedua untuk mengatasi padatnya wisatawan yang naik kepuncak Piaynemo.
Menurut Pak Sam, tour leader kami, harga per kamar tempat menginap kami, 500 ribu per malam. Lalu pada pagi harinya (18/6) sekitar jam 7 kami melanjutkan perjalanan menuju ke Pulau Arborek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H