Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Hutan Mangrove di Pantai Mor

3 Januari 2017   20:21 Diperbarui: 3 Januari 2017   20:42 1900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rombongan lain datang berwisata ke hutan mengrove (dokpri)
Rombongan lain datang berwisata ke hutan mengrove (dokpri)
"Naik perahu berapa pak?" tanya saya kepada petugas yang sedang duduk di gubuk dekat parkiran sepeda motor sambil memegang tiga bundel tiket perahu. "Per orang Ro 15.000,- bayarnya Mas" jawab petugas. "Anak kecil dihitung nggak?" "Saya hitung lima saja Mas. Jadi bayar Rp 75.000,-" kata petugas sambil matanya melihat jumlah rombongan saya.

Setelah membayar, kami disuruh untuk menuju ke dermaga. Ada empat perahu tertambat. Perahu yang akan kami tumpangi sudah memberi aba-aba kepada kami. Perahu itu sudah terisi lima pelajar dengan seragam sekolahnya.

Perjalanan ke hutan mangrove dari pantai Morosari ditempuh kurang lebih setengah jam. Suara mesin perahu begitu keras dan sebanding dengan kecepatan lajunya perahu. Tapi kami menikmati saja seiring dengan gelombak ombak air laut.

Dalam perjalanan menuju hutan mangrove, kami melihat bangunan Masjid yang sedang dibangun, di ujung dermaga yang berada satu lokasi dengan makam Syech Abdullah Mudzakir. Tampak di seberang laut, perahu-perahu nelayan yang menjala ikan.

Penjual makanan dan minuman buat pengunjung (dokpri)
Penjual makanan dan minuman buat pengunjung (dokpri)
Akhirnya perahu kami memasuki kanal dan menepi di dermaga konservasi hutan mangrove yang konon mendapat bantuan dana dari Pemerintah Jepang. Sepintas hutan mangrove sudah lebat. Burung kuntul (bangau) putih dan hitam terdengar berceloteh riang di antara ranting pepohonan bakau memecah kesenyapan hutan bakau.

Kami semua turun dari perahu dan melangkahkan kaki menuju jalan setapak kayu selebar satu meter. Sudah beberapa pengunjung yang sudah tiba lebih dulu, sedang menikmati hutan mangrove sambil berfoto ria dengan tongsis di tangan. Jalan setapak hutan mangrove ini bercabang dua. Tapi sayangya semua buntu.

Panjangnya tak lebih dari 500 meter. Mirisnya, jalan setapak ini sudah mulai lapuk dan menurun khususnya di ujung sebelah kiri. Dua anak Andre yang suka berlarian diingatkan jangan sampai ke kayu yang lapuk. Takut kepleset masuk ke rawa hutan Mangrove.

"Sayang fasilitas jalan setapak tidak diperbaiki. Jaraknya pendek dan tak tersambung satu sama lain. Lihat sampah bekas minuman dan plastik makanan itu teronggok di antara akar pohon bakau. Yah jorok" komentar istri Andre.

Foto bersama he he he (dokpri)
Foto bersama he he he (dokpri)
Di salah satu gazebo kecil, seorang ibu jualan minuman dan makanan. Tampak ibu itu sibuk melayani pesanan pengunjung yang berseragam sekolah SMP. Mereka pesan pop mie dan es miramas. Sedangkan saya dan keponakan pesan minuman.

Kurang lebih setengah jam lamanya kami berada di hutan mangrove Morosari. Rombongan perahu lainnya mulai meninggalkan lokasi. Saat kami pulang, datang rombongan lain berlabuh di dermaga itu.

Tumbuhnya hutan mangrove desa Bedono, Demak ini patut disyukuri karena mencegah gelombang ombak laut yang berpotensi terjadi abrasi. Bahkan Dinas Pariwisata Demak berupaya menjadikan kawasan hutan mangrove ini sebagai destinasi wisata alam dan bahari yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun