Tulisan "Wisata Bahari Pantai Morosari" yang terpasang di pinggir Jalan Semarang - Demak KM 9, Bedono, Sayung, Demak terbaca jelas dari dalam mobil. Mobilpun kemudian berbelok kiri dan menyusuri jalan cor beton. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu mobil harus berhenti dan mempersilakan mobil berlalu lebih dahulu.
Jalan cor beton dari jalan raya menuju pantai Morosari, desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah yang akrab disebut warga sebagai Pantai Mor, berjarak sekitar 3 km. Saat menyusuri jalan itu, saya melihat di sebelah kanan adalah sungai yang terkesan airnya tidak mengalir. Sedangkan di sebelah kiri, terbentang luas lahan tambak rakyat.
Selain itu, di sela-sela tambak dan rumah, terlihat rumpun pohon bakau tumbuh setinggi manusia lebih. Konon pohon bakau ini ditanam setelah terjadi peristiwa naas puluhan tahun yang lalu, berupa tenggelamnya pemukiman warga akibat abrasi yang berakibat rob.
Cuaca agak mendung. Udara tak begitu membuat gerah di badan. Sebelum memasuki ujung pantai Mor, seorang petugas di dekat loket masuk menghentikan mobil saya.
"Per orang tiket masuk Wisata Bahari Morosari hanya Rp. 7.000,- dan ditambah parkir mobil Rp. 2.000,-" kata petugas. Lalu saya bayar untuk tujuh orang termasuk dua anak kecil.
Setelah mobil diparkir, saya dan rombongan langsung turun dari mobil. Siang itu, tidak terlalu banyak orang berkumpul di pantai Mor, kecuali enam mobil dan beberapa sepeda motor terpakir. Mungkin para pengunjung sudah lebih dahulu naik perahu menuju ke hutan mangrove atau ke makam Mbah Syekh Abdullah Mudzakir, tetua yang dihormati karena berjasa dalam menyebarkan agama Islam.
Ke dua tempat itu belum pernah saya kunjungi. Saya ikut pilihan Andre karena dia yang tahu jalan. Tak hanya itu, berdasarkan informasi yang saya baca, ada kisah miris yang dialami warga setempat. Banyak rumah warga desa sekitar pantai Morosari, kecamatan Sayung, desa Bedono, Demak terkena abrasi dan kemudian tenggelam karena rob. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu warga eksodus ke pemukiman lain.
Karena informasi itulah, saya makin penasaran dengan objek wisata Hutan Mangrove Morosari sekaligus ingin melihat "desa mati" terkini.
Setelah membayar, kami disuruh untuk menuju ke dermaga. Ada empat perahu tertambat. Perahu yang akan kami tumpangi sudah memberi aba-aba kepada kami. Perahu itu sudah terisi lima pelajar dengan seragam sekolahnya.
Perjalanan ke hutan mangrove dari pantai Morosari ditempuh kurang lebih setengah jam. Suara mesin perahu begitu keras dan sebanding dengan kecepatan lajunya perahu. Tapi kami menikmati saja seiring dengan gelombak ombak air laut.
Dalam perjalanan menuju hutan mangrove, kami melihat bangunan Masjid yang sedang dibangun, di ujung dermaga yang berada satu lokasi dengan makam Syech Abdullah Mudzakir. Tampak di seberang laut, perahu-perahu nelayan yang menjala ikan.
Kami semua turun dari perahu dan melangkahkan kaki menuju jalan setapak kayu selebar satu meter. Sudah beberapa pengunjung yang sudah tiba lebih dulu, sedang menikmati hutan mangrove sambil berfoto ria dengan tongsis di tangan. Jalan setapak hutan mangrove ini bercabang dua. Tapi sayangya semua buntu.
Panjangnya tak lebih dari 500 meter. Mirisnya, jalan setapak ini sudah mulai lapuk dan menurun khususnya di ujung sebelah kiri. Dua anak Andre yang suka berlarian diingatkan jangan sampai ke kayu yang lapuk. Takut kepleset masuk ke rawa hutan Mangrove.
"Sayang fasilitas jalan setapak tidak diperbaiki. Jaraknya pendek dan tak tersambung satu sama lain. Lihat sampah bekas minuman dan plastik makanan itu teronggok di antara akar pohon bakau. Yah jorok" komentar istri Andre.
Kurang lebih setengah jam lamanya kami berada di hutan mangrove Morosari. Rombongan perahu lainnya mulai meninggalkan lokasi. Saat kami pulang, datang rombongan lain berlabuh di dermaga itu.
Tumbuhnya hutan mangrove desa Bedono, Demak ini patut disyukuri karena mencegah gelombang ombak laut yang berpotensi terjadi abrasi. Bahkan Dinas Pariwisata Demak berupaya menjadikan kawasan hutan mangrove ini sebagai destinasi wisata alam dan bahari yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi rakyat.
Rasa penasaran saya terhadap Wisata bahari Pantai Mor terobati dengan catatan kurang seru. Mengapa? Karena fasilitas wisatanya kurang dipelihara dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H