Setelah membayar, kami disuruh untuk menuju ke dermaga. Ada empat perahu tertambat. Perahu yang akan kami tumpangi sudah memberi aba-aba kepada kami. Perahu itu sudah terisi lima pelajar dengan seragam sekolahnya.
Perjalanan ke hutan mangrove dari pantai Morosari ditempuh kurang lebih setengah jam. Suara mesin perahu begitu keras dan sebanding dengan kecepatan lajunya perahu. Tapi kami menikmati saja seiring dengan gelombak ombak air laut.
Dalam perjalanan menuju hutan mangrove, kami melihat bangunan Masjid yang sedang dibangun, di ujung dermaga yang berada satu lokasi dengan makam Syech Abdullah Mudzakir. Tampak di seberang laut, perahu-perahu nelayan yang menjala ikan.
Kami semua turun dari perahu dan melangkahkan kaki menuju jalan setapak kayu selebar satu meter. Sudah beberapa pengunjung yang sudah tiba lebih dulu, sedang menikmati hutan mangrove sambil berfoto ria dengan tongsis di tangan. Jalan setapak hutan mangrove ini bercabang dua. Tapi sayangya semua buntu.
Panjangnya tak lebih dari 500 meter. Mirisnya, jalan setapak ini sudah mulai lapuk dan menurun khususnya di ujung sebelah kiri. Dua anak Andre yang suka berlarian diingatkan jangan sampai ke kayu yang lapuk. Takut kepleset masuk ke rawa hutan Mangrove.
"Sayang fasilitas jalan setapak tidak diperbaiki. Jaraknya pendek dan tak tersambung satu sama lain. Lihat sampah bekas minuman dan plastik makanan itu teronggok di antara akar pohon bakau. Yah jorok" komentar istri Andre.
Kurang lebih setengah jam lamanya kami berada di hutan mangrove Morosari. Rombongan perahu lainnya mulai meninggalkan lokasi. Saat kami pulang, datang rombongan lain berlabuh di dermaga itu.
Tumbuhnya hutan mangrove desa Bedono, Demak ini patut disyukuri karena mencegah gelombang ombak laut yang berpotensi terjadi abrasi. Bahkan Dinas Pariwisata Demak berupaya menjadikan kawasan hutan mangrove ini sebagai destinasi wisata alam dan bahari yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi rakyat.