"Lalu siapa yang ziarah?"
Lelaki paruh baya itu menarik napas dalam-dalam. Tenggorokannya terasa kering hingga susah untuk membuka mulut. Lebih baik tak usah melanjutkan pembicaraan tentang siapa yang akan berziarah. Ganti topik saja.
***
Di luar suara malam terasa semakin keras mengepung kedua telinganya. Seharusnya malam ini sepi. Seharusnya malam ini juga dingin, setelah sesore langit menangis deras.
"Sebagai kakak perempuan yang paling tua dalam keluarga, apakah memperbolehkan beliau pergi ziarah?" Tanya lelaki separuh baya kepada kakak perempuannya.
"Beliau ingin sekali. Tapi saya sangat kuatir. Apakah kuat dalam perjalanan? Apakah tidak merepotkan banyak orang nantinya? Saya juga takut tiba-tiba kesehatannya terganggu. Di Eropa kan cuacanya bukan tropis seperti di Indonesia. Intinya saya takut kalau terjadi apa-apa pada beliau"
Apa yang dikatakan kakak perempuannya itu, benar. Bisa dimaklumi. Beliau usianya hampir tujuh puluh. Lebih banyak memakai kursi roda daripada jalan kaki. Bisa dibayangkan keluar masuk pesawat dengan kursi roda. Atau saat audiensi dengan Bapa Suci. Belum berebut dengan para peziarah dari negara-negara lain.
Lelaki paruh baya itu tidak langsung menanggapi apa yang dikatakan oleh kakaknya. Dalam hati, ia mengiyakan apa yang menjadi kekuatiran keluarga. Ditariknya napas dalam-dalam. Lalu dihembuskannya dengan keras sehingga terdengar mengeluh mendesah.
"Beliau adalah ibu kita. Semua kan sudah memahami bagaimana karakter ibu kita. Kemauannya keras. Sejak kecil hingga kita semua sudah dewasa, ibu mendidik kita dengan kemauan keras. Di dalam kemauan kerasnya menjadikan kita dewasa, tak jarang beliau bekerja keras. Prinsipnya anak-anaknya harus berhasil"
Kata-kata lelaki itu menimbulkan senyap seketika. Tak ada yang menyanggah. Tak ada yang menyalahkan. Bahkan bukan benar atau salah. Tapi ini masalah apa adanya dari beliau yang telah membesarkan anak-anaknya.
***