Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[HUT RTC] Ziarah ke Roma

5 Maret 2016   07:16 Diperbarui: 5 Maret 2016   09:08 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sebelum Senja Tiba (Dokpri)"][/caption] 

"Kau masih menyimpan nomer hape atau email teman kita yang ada di Roma?" Tanya lelaki paruh baya itu dengan penuh harap.

"Saya masih ada. Sebentar saya japri ya"

"Terima kasih"

Hape lelaki separuh baya itu berbunyi. Di layar muncul notifikasi pada WA. Segera ia buka dengan sekali sentuh. Lalu ia baca dengan seksama. Setelah itu jari tangannya menggeser pada tulisan yang dikirim temannya untuk dicopy.

Lekaki itu bergegas memasukkan ke daftar kontak baru. Nomor hape teman yang di Roma, berikut emailnya sudah tersimpan dalam daftar kontak.

"Kau mau ziarah?"

Wajah lelaki paruh baya itu, agak terkejut ditanya soal itu. Ziarah? Tiba-tiba terlintas dalam benaknya, bahwa pergi ke Roma, bagi umat Kristiani, adalah ziarah. Peziarahan ini memuncak saat audiensi dengan Bapa Suci. Pemimpin tertinggi sekaligus tokoh spiritual bagi seluruh umat Kristiani di dunia.

***

Roma adalah ibukota negara Vatikan. Tak sedikit umat Kristiani pergi ke Roma, untuk berjumpa dengan Paus, lewat audiensi yang terjadwal. Para peziarah juga diajak keliling ke Basilika St. Petrus. Berziarah ke makam Santo Paulus. Tak lupa mengunjungi relikui palungan tempat Yesus lahir yang dulu berada di Betlehem. Tempat ziarah ini disebut Basilika Santa Maria Maggiore. Setelah dari Roma, biasanya perziarahan dilanjutkan ke Lourdes, Asisi, dan Loyola.

"Enggak. Bukan aku yang ziarah" cepat-cepat lelaki paruh baya itu menangkis dugaan temannya.

"Lalu siapa yang ziarah?"

Lelaki paruh baya itu menarik napas dalam-dalam. Tenggorokannya terasa kering hingga susah untuk membuka mulut. Lebih baik tak usah melanjutkan pembicaraan tentang siapa yang akan berziarah. Ganti topik saja.

***

Di luar suara malam terasa semakin keras mengepung kedua telinganya. Seharusnya malam ini sepi. Seharusnya malam ini juga dingin, setelah sesore langit menangis deras.

"Sebagai kakak perempuan yang paling tua dalam keluarga, apakah memperbolehkan beliau pergi ziarah?" Tanya lelaki separuh baya kepada kakak perempuannya.

"Beliau ingin sekali. Tapi saya sangat kuatir. Apakah kuat dalam perjalanan? Apakah tidak merepotkan banyak orang nantinya? Saya juga takut tiba-tiba kesehatannya terganggu. Di Eropa kan cuacanya bukan tropis seperti di Indonesia. Intinya saya takut kalau terjadi apa-apa pada beliau"

Apa yang dikatakan kakak perempuannya itu, benar. Bisa dimaklumi. Beliau usianya hampir tujuh puluh. Lebih banyak memakai kursi roda daripada jalan kaki. Bisa dibayangkan keluar masuk pesawat dengan kursi roda. Atau saat audiensi dengan Bapa Suci. Belum berebut dengan para peziarah dari negara-negara lain.

Lelaki paruh baya itu tidak langsung menanggapi apa yang dikatakan oleh kakaknya. Dalam hati, ia mengiyakan apa yang menjadi kekuatiran keluarga. Ditariknya napas dalam-dalam. Lalu dihembuskannya dengan keras sehingga terdengar mengeluh mendesah.

"Beliau adalah ibu kita. Semua kan sudah memahami bagaimana karakter ibu kita. Kemauannya keras. Sejak kecil hingga kita semua sudah dewasa, ibu mendidik kita dengan kemauan keras. Di dalam kemauan kerasnya menjadikan kita dewasa, tak jarang beliau bekerja keras. Prinsipnya anak-anaknya harus berhasil"

Kata-kata lelaki itu menimbulkan senyap seketika. Tak ada yang menyanggah. Tak ada yang menyalahkan. Bahkan bukan benar atau salah. Tapi ini masalah apa adanya dari beliau yang telah membesarkan anak-anaknya.

***

"Bagaimana kalau ibu meninggal saat berziarah?"

Lelaki itu dan kakak perempuannya terhantui oleh pikiran buruk masing-masing. Betapa repotnya mengurus jenasah antar negara. Tak sedikit biaya yang akan dikeluarkan untuk itu. Pasti merepotkan banyak orang karena banyak hal yang diurus hingga nisan itu berdiri tegak.

Lelaki separuh baya itu termenung. Pikirannya melayang ke masa lalu. Ketika itu, di pintu sekolah SMA berasrama, ibu memberi pesan kepadanya.

"Nak, setelah empat tahun sekolah seminari, ibu akan menjemputmu di pintu ini dan ibu akan serahkan jubah putih yang ibu jahit sendiri"

Hati lelaki itu membuncah resah bila mengingat nasehat beliau itu. Asa yang menggunung telah lama tak pernah terjadi seiring dengan tersimpannya pakaian yang dijahit beliau sendiri di lemari hingga anak-anaknya diwisuda. Orang tua sudah membuat kita berhasil. Apa salahnya sekarang anak dan cucunya membuat orang tua bahagia. 

"Selama ini beliau tidak kita ajak pergi karena kekuatiran beliau tidak kuat dalam perjalanan. Tetapi, ketika kita direnungkan lebih mendalam, kami semua sadar kita tidak boleh mengukur-ukur kekuatan orang tua"

Beliau adalah orang yang luar biasa. Kalau sudah punya keinginan tidak bisa dibatalkan. Takut kena tulah. Ini sama dengan keinginannya saat membesarkan anak-anaknya hingga dewasa dan mandiri semua.

"Semangatnya hebat tetapi dari kacamata saya ibu sering saya anggap berlebihan".

***

"Bu, besok ibu dipastikan ziarah ke Roma. Kakak dan anak saya akan mendampingi ibu. Kursi roda ibu, nanti yang ngurus anak saya. Maaf, saya tidak ikut karena masih ada pekerjaan. Oh ya ibu jangan kuatir di Roma ada teman saya yang jadi pastor, beliau bersedia dengan senang hati menemani ibu berziarah"

Lelaki itu melambaikan tangannya di pintu keberangkatan Soekarno Hatta. Wajahnya tampak segar saat burung besi itu terbang. Lelaki itu yakin kemauan keras ibunya pasti membuahkan hasil. Yaitu, kedamaian di hati sepulangnya berziarah.

Paskah kebangkitan pun segera tiba dan kami merayakan bersama ibu.

***

 

Cerpen ini terinspirasi dari puisi Joko Pinurbo, di bawah ini

Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(2004)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun