[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Tanjung Benoa, Water Sport (dokpri)"][/caption]
Esok hari (20/12) kami harus bangun pagi. Jika tidak, ada objek-objek wisata yang terlewatkan dengan sia-sia bersamaan lajunya waktu berputar. Itulah strategi yang kami terapkan selama berlibur di Bali.
Bus Pariwisata yang tempat duduknya disetting 1 kursi dan 2 kursi per deret, sudah menunggu di muka penginapan. Mesinnya tetap hidup. AC dalam kondisi menyala. Sejuknya terasa di badan begitu masuk dan duduk di kursi bis. Baru lima orang yang sudah berada dalam bis. Dengan susah payah, Mario ketua tim wisata menghubungi peserta lain. Tak jarang ia harus mengetuk kamar satu persatu. Kecanggihan telpon genggam kadang tak membantu agar peserta cepat bangun. Itulah dinamika yang terjadi setiap pagi.
Langit sudah membuka mata. Kali ini kurang garang karena awan kelabu menghalangi. Dalam hati, semoga tidak turun hujan. Hari ini kami akan berwisata ke Tanjung Benoa dan kemudian dilanjut ke Pantai Pendawa. Dari pantai ke pantai. Kemarin dari pura ke pura ditambah ke view geopark Kitamani.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Pantai Pendawa Dari Atas (dokpri)"]
Roda bus bergerak. Kemudian menyusuri Sunset Road yang lenggang karena masih pagi. Suasana dalam bis sepi. Para peserta yang masih usia remaja melanjutkan boboknya. Bus memasuki Tol Bali Mandara. Belum banyak kendaraan. Uniknya, tol ini menyediakan jalur khusus untuk sepeda motor. Padahal biasanya sepeda motor dilarang masuk tol.
Laju bus melambat. Jalan menuju Water Sport Tanjung Benoa mulai ramai dipadati mobil pribadi dan bus wisata. Meski masih pagi, tapi kami bukan rombongan pertama. Rupanya aktivitas water sport sudah ramai dipadati rombongan anak-anak sekolah yang berbaur dengan wisatawan asia lainnya.
Begitu duduk, petugas berseragam mendatangi kami dan mendaftar siapa dan main apa. Di tangannya, petugas membawa daftar aneka macam permainan dan harganya. Tak semua dipilih. Jetski, parasailing, snorkling, banana boat, fly fish dan wisata teluk penyu itulah yang dipilihnya. Harga permainan mulai dari 75 ribu rupiah.
"Adek-adek yang sudah bawa tiket, coba ya datang ke petugas yang berdiri dekat pengeras suara sana. Tunjukkan dan berikan tiketnya ya" kata pak Made petugas wisata bahari di Tanjung Benoa.
[caption id="" align="aligncenter" width="486" caption="Mau main apa? (dokpri)"]
[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Banana Boat (dokpri)"]
Yang main bukan hanya kami. Hiruk pikuk terlihat di sepanjang pantai. Lebih dari lima provider water sport melayani rombongan untuk wisata bahari. Belum kapal-kapal yang digunakan menarik parasailing, banana boat, flyingfish, membawa ke Pulau Penyu. Wow ramai dan padatnya wisatawan kalau pas liburan begini.
Saya sudah empat kali datang ke sini. Hampir semua permainan sudah saya coba. Kali ini saya hanya monitoring saja untuk lihat keasyikan mereka bermain. Tak lupa jepret mereka dengan kamera saya dan kamera yang dititipkan ke saya. Mat Kodak kalee..!!!
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Melukis langit biru (dokpri)"]
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Asyik Ditonton (dokpri)"]
Di antara wahana permainan itu, yang menarik ditonton adalah parasailing. Sebuah boat menarik kencang penerjun dengan parasut yang mengembang. Mengudara tak lebih dari lima menit. Asyik dilihat dari pinggir pantai. Sesekali melihat flyingfish mengudara di antara parasailing. Yang lain bermain jauh dari pantai sehingga tidak melihat secara menyeluruh. Sepintas awal dan akhirnya saja di pinggir pantai.
Langit masih kelabu oleh gumpalan awan. Keceriaan bercampur perasaan uji nyali menghiasi para pemain begitu kaki menginjakkan kembali lembutnya pasir putih pantai Tanjung Benoa.
Tak terasa jam sudah lewat 12 siang. Kampung tengah sudah mulai keroncongan. Rombongan ke pulau Penyu belum kembali. Dihubungi dan kemudian mendapat jawab masih otw pulang. Menunggu sudah. Sementara itu, spot wisata ini silih berganti dikunjungi wisatawan terutama rombongan sekolah.
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Angin ke laut, tanda stop parasailing (dokpri)"]
"Kok nggak ada lagi parasailingnya, Bli?" tanya saya heran. "Ada perubahan angin. Sekarang arah angin ke laut bukan ke darat. Ini bahaya buat parasailing dan parasut akan basah kena air laut" jawab Bli petugas parasailing. Saya baru paham. Jadi ada baiknya datang pagi. Kalau lewat jam satu siang, angin berubah arah. Itulah pentingnya bangun pagi saat wisata. Jangan karena libur, lalu seenaknya bangun pagi.
Rumah makan padang kami masuki untuk makan siang. Berbeda dengan masakan Manado, all you can eat hanya 25 ribu. Tapi kalau di sini, apa yang kamu makan itu yang kamu bayar. Nah, hargai perbedaan itu, maka kamu akan menikmatinya meski berat diongkos. Gimana lagi he he he.
GWK kami lewati. Tak jauh dari itu, Puja Mandala, tempat sembahyang lima agama (Mesjid, Gereja, Pura, Klenteng) di Nusa Dua, juga kami lewati. Badan bus masih berada di jalan menuju ke Ulu Watu. Tapi kami belok ke kiri menuju ke pantai Pandawa.
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Penunjuk Lokasi Pantai (dokpri)"]
Per orang 2 ribu. Parkir bus 5 ribu. Setelah membayar tiket masuk, kami melewati jalan yang rupanya jalan baru dengan membelah bukit kapur. Masih di puncaknya, bis berhenti. View bentangan pantai Pendawa, indah mempesona di mata. Di sisi lain, kepadatan pengunjung bisa diperkirakan dari banyaknya bus dan kendraan lain yang diparkir.
"Pantai ini makin ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Beda dengan dua tahun lalu waktu saya datang untuk pertama kalinya. Apakah karena masih baru? Apakah karena di tebing gunung terpasang patung-patung Pandawa, Dewi Kunti dan lainnya? Apakah karena wisatawan bisa main kano di laut?" batin saya karena terlalu heran begitu banyaknya pengunjung di pantai Pandawa ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Pantung Pandawa (dokpri)"]
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Kano siap dimainkan (dokpri)"]
Setelah berfoto di muka patung, kami terus menuju ke pantai. Bermain kano di laut, menjadi pilihan utama. Dengan membayar 20 ribu, kami bisa bermain kano sepuasnya selama satu jam. Ada lima kano yang kami sewa.
Di pinggir pantai tersedia payung dan tempat duduk santai. Dengan mergoh uang 50 ribu anda bisa memakai payung dan tempat duduk itu sembari cuci mata melihat aktivitas pengunjung dan deburan ombak biru.
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Berkano ria di laut (dokpri)"]
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Suasana di pantai Pendawa (dokpri)"]
Jelang sore, saat senja beradu di ufuk Barat, pra wisatawan tampak kembali ke bus dan mobilnya. Pantai Pendawa mulai ditinggalkan wisatawan. Bus sudah siap berangkat. Yang tadi main kano, sementara bilas badan dan sebentar lagi masuk ke bus,
Bus merangkak naik meninggalkan pantai Pandawa dengan meninggalkan kesan bermain kano di laut sepuasnya.
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Sisi Barat Pantai Pandawa (dokpri)"]
[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Siap Tinggalkan Pantai Pendawa (dokpri)"]
Langit sudah tak bersahabat karena gelap segera menyelimuti. Meski terlambat menyaksikan sunset di Kuta, kami tetap singgah dan parkir di situ. Gemerlap malam sepanjang pantai Kuta dan deretan wahana dugem tak urung menggoda hati. Meski hanya sekedar foto atau melihat dan shopping, suasana itu sudah menyenangkan hati.
Hingga pukul delapan malam, kami berada di Kuta. Bus kemudian mengantar kami ke penginapan di jalan Merdeka Raya. Begitulah wisata pantai kami.
"Seratus kali mendengar, tak kalah dengan satu kali melihat. Seratus kali melihat tak kalah dengan satu kali mengalami" kata pepatah kuno dari Tiongkok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H