Oleh: Julianda BM
Detak jantung berdegup kencang, atmosfer tegang menyelimuti ruangan. Ribuan pasang mata terpaku pada layar lebar, menyaksikan angka-angka yang terus berubah dalam hitungan rekapitulasi suara KPU.Â
Di setiap sudut ruangan, bisikan dan spekulasi berbisik, mewarnai momen krusial ini.
Di satu sisi, aura optimisme menyelimuti. Harapan akan demokrasi yang adil dan transparan terpancar dari wajah para pendukung, menanti hasil yang mencerminkan suara rakyat.Â
Di sisi lain, keraguan dan kecurigaan menggerogoti sebagian masyarakat, dipicu oleh berbagai isu dan polemik yang mewarnai proses pemilu.
Transparansi, pilar utama demokrasi, menjadi sorotan utama. KPU, sebagai penjaga gerbang demokrasi, dituntut untuk menunjukkan komitmennya dalam menghadirkan proses rekapitulasi yang terbuka dan akuntabel.Â
Setiap formulir C1, saksi, dan data suara harus diverifikasi dengan cermat, tanpa keraguan dan manipulasi.
Namun, keraguan publik tak mudah dipadamkan. Ketidakjelasan informasi, akses terbatas terhadap data, dan lambatnya proses rekapitulasi di beberapa daerah memicu spekulasi dan rumor.Â
Kepercayaan publik terhadap KPU dipertaruhkan, dan bayang-bayang kecurangan menghantui proses demokrasi.
Di tengah situasi yang penuh pertanyaan, muncullah berbagai pertanyaan. Apakah KPU mampu menjawab keraguan publik? Bagaimana cara membangun kembali kepercayaan yang telah terkikis?Â