Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Beban Bias Gender dan Stereotip bagi Perempuan yang Menunda Pernikahan

19 Februari 2024   16:40 Diperbarui: 19 Februari 2024   18:13 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menunda menikah. Foto: Tomorrowsworld 

Di Indonesia, pernikahan sering dianggap sebagai penentu utama kebahagiaan perempuan. 

Bagi perempuan yang menunda pernikahan di usia tertentu, pertanyaan dan komentar miring dari keluarga, tetangga, dan bahkan orang asing sering kali menjadi beban. 

Stereotip dan bias gender yang melekat pada pernikahan terlambat ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan secara signifikan.

Stereotip dan Bias Gender yang Melekat

Stereotip dan bias gender yang sering dihadapi perempuan yang menunda pernikahan antara lain:

Pertama, perempuan yang menunda pernikahan dianggap tidak laku. Stereotip ini memicu perasaan rendah diri dan tidak berharga pada perempuan. 

Anggapan ini didasari oleh pemikiran bahwa perempuan yang tidak menikah di usia tertentu memiliki kekurangan yang membuatnya tidak menarik bagi laki-laki.

Kedua, perempuan yang menunda pernikahan dianggap tidak mampu mengurus rumah tangga. Stereotip ini mengabaikan fakta bahwa banyak perempuan yang sukses dalam karir dan mampu mengurus diri sendiri. 

Stereotip ini memperkuat peran tradisional perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan mengabaikan kemampuan perempuan dalam bidang lain.

Ketiga, perempuan yang menunda pernikahan dianggap egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Stereotip ini mengabaikan berbagai alasan perempuan menunda pernikahan, seperti fokus pada karir, pendidikan, atau belum menemukan pasangan yang tepat. 

Stereotip ini menghakimi pilihan perempuan dan mengabaikan hak mereka untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.

Dampak Beban Bias Gender dan Stereotip

Beban bias gender dan stereotip yang dihadapi perempuan yang menunda pernikahan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan mental dan emosional mereka, antara lain:

Pertama, kecemasan dan depresi.

 Perempuan yang menunda pernikahan sering merasa cemas dan tertekan karena ekspektasi sosial yang tinggi. 

Tekanan dari keluarga, tetangga, dan masyarakat untuk menikah dapat memicu kecemasan dan depresi pada perempuan.

Kedua, penurunan rasa percaya diri. Stereotip negatif tentang perempuan yang menunda pernikahan dapat membuat mereka merasa rendah diri dan tidak berharga. 

Hal ini dapat memengaruhi self-esteem perempuan dan membuat mereka ragu dengan kemampuan diri sendiri.

Ketiga, kesulitan dalam menjalin hubungan. Beban stereotip dan bias gender dapat membuat perempuan ragu untuk memulai hubungan baru. 

Perempuan yang menunda pernikahan mungkin merasa takut dihakimi oleh pasangannya atau keluarga pasangannya.

Upaya Mematahkan Stereotip dan Beban Bias Gender

Untuk mengatasi beban bias gender dan stereotip terhadap perempuan yang menunda pernikahan, diperlukan upaya dari berbagai pihak, antara lain:

Pertama, perempuan perlu berani melawan stereotip dan bias gender. Perempuan harus percaya diri dengan pilihan hidup mereka dan tidak terpengaruh oleh ekspektasi orang lain. 

Perempuan perlu berani menunjukkan bahwa pernikahan bukan satu-satunya penentu kebahagiaan dan perempuan berhak menentukan kapan mereka ingin menikah.

Kedua, masyarakat perlu mengubah pola pikir tentang pernikahan. Pernikahan bukan satu-satunya penentu kebahagiaan perempuan. Perempuan yang tidak menikah pun bisa bahagia dan sukses dalam hidup. 

Masyarakat perlu menghargai pilihan hidup perempuan dan tidak menjustifikasi kebahagiaan perempuan berdasarkan status pernikahannya.

Ketiga, media perlu menampilkan representasi perempuan yang lebih beragam. Media perlu menunjukkan bahwa perempuan memiliki berbagai pilihan hidup dan tidak semua perempuan harus menikah. 

Media dapat menampilkan perempuan yang sukses dalam karir, pendidikan, dan bidang lain tanpa mengaitkannya dengan status pernikahan.

Jadi, menikah adalah pilihan, bukan kewajiban. Perempuan berhak menentukan kapan mereka ingin menikah. 

Beban bias gender dan stereotip tentang pernikahan terlambat harus dihilangkan. Perempuan harus bebas untuk memilih jalan hidup mereka tanpa dihakimi.

Oleh: Julianda BM 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun