Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksistensi Hak Ulayat Mukim dalam Melestarikan Hutan di Aceh

28 Januari 2024   12:20 Diperbarui: 28 Januari 2024   12:23 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan Aceh, Sumber gambar: Media Indonesia/Amiruddin

Oleh: Julianda BM

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, salah satunya adalah hutan. Hutan di Aceh memiliki fungsi yang sangat penting, baik bagi masyarakat Aceh maupun bagi lingkungan. 

Hutan berfungsi sebagai sumber mata pencaharian, sumber air, dan juga sebagai penyeimbang ekosistem.

Dalam pengelolaan hutan, masyarakat Aceh memiliki tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu hak ulayat mukim. 

Hak ulayat mukim merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat mukim (kesatuan masyarakat hukum adat) atas tanah dan sumber daya alam yang berada di wilayahnya. 

Hak ulayat mukim ini telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim (Qanun setara dengan Peraturan Daerah).

Dikutip dari Media Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia telah resmi mengakui keberadaan delapan hutan adat mukim di kawasan Provinsi Aceh. Hutan adat itu tersebar di tiga kabupaten, yaitu di Kabupaten Pidie tiga masyarakat hukum adat (MHA), Aceh Jaya dua MHA dan Kabupaten Bireuen tiga MHA.

Hak ulayat mukim memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan hutan di Aceh. Hal ini dikarenakan hak ulayat mukim memberikan kewenangan kepada masyarakat mukim untuk mengelola hutan secara tradisional. Pengelolaan hutan secara tradisional ini didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal yang telah mengakar di masyarakat Aceh.

Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam pengelolaan hutan secara tradisional di Aceh antara lain:

Pertama, nilai religius. Masyarakat Aceh memiliki keyakinan bahwa hutan merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga kelestariannya.

Kedua, nilai kepedulian terhadap lingkungan. Masyarakat Aceh menyadari bahwa hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan, sehingga mereka memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian hutan.

Ketiga, nilai hidup selaras dengan alam. Masyarakat Aceh percaya bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam, sehingga mereka menerapkan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan hutan.

Nilai-nilai kearifan lokal tersebut telah diimplementasikan dalam berbagai praktik pengelolaan hutan secara tradisional di Aceh. Salah satu praktik pengelolaan hutan secara tradisional yang paling umum dilakukan adalah praktik glee. 

Glee adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang didasarkan pada pembagian wilayah hutan menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Glee uroe, yaitu wilayah hutan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat mukim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti untuk memenuhi kebutuhan pangan, bahan bangunan, dan obat-obatan.

2. Glee luwa, yaitu wilayah hutan yang tidak boleh dimanfaatkan oleh masyarakat mukim, kecuali untuk kepentingan umum, seperti untuk kepentingan ibadah, pendidikan, dan penelitian.

3. Glee patek, yaitu wilayah hutan yang dijadikan sebagai kawasan lindung.

Praktek glee ini telah terbukti efektif dalam menjaga kelestarian hutan di Aceh. Hal ini dikarenakan praktik glee memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai pemanfaatan hutan. Dengan adanya batasan-batasan tersebut, maka masyarakat mukim dapat memanfaatkan hutan secara lestari.

Selain praktik glee, masyarakat Aceh juga memiliki praktik-praktik pengelolaan hutan secara tradisional lainnya, seperti:

1. Sistem tebang pilih. Masyarakat Aceh hanya menebang pohon yang sudah tua dan tidak produktif lagi.

2. Sistem rotasi tanam. Masyarakat Aceh melakukan penanaman pohon kembali setelah pohon yang ditebang sudah tidak produktif lagi.

3. Sistem larangan. Masyarakat Aceh memiliki larangan-larangan tertentu dalam pemanfaatan hutan, seperti larangan menebang pohon-pohon tertentu, larangan berburu, dan larangan membuang sampah sembarangan.

Praktik-praktik pengelolaan hutan secara tradisional tersebut telah berhasil menjaga kelestarian hutan di Aceh selama berabad-abad lamanya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelestarian hutan di Aceh mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:

1. Kemiskinan. Masyarakat Aceh yang masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, terpaksa melakukan penebangan liar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

2. Kesadaran masyarakat yang masih rendah. Masih banyak masyarakat Aceh yang belum menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan.

3. Aktivitas pertambangan. Aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan kerusakan hutan di Aceh.

Untuk mengatasi ancaman terhadap kelestarian hutan di Aceh, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat eksistensi hak ulayat mukim. Upaya-upaya tersebut antara lain:

Pertama, pemahaman masyarakat. Masyarakat Aceh perlu diberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan.

Kedua, pemberdayaan masyarakat. Masyarakat Aceh perlu diberdayakan untuk mengelola hutan secara lestari.

Ketiga, koordinasi dengan pemerintah. Pemerintah perlu berkoordinasi dengan masyarakat Aceh dalam pengelolaan hutan.

Dengan memperkuat eksistensi hak ulayat mukim, maka diharapkan kelestarian hutan di Aceh dapat terjaga. Hutan yang lestari akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Aceh, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

Penutup

Hak ulayat mukim merupakan salah satu kekayaan budaya Aceh yang memiliki peran penting dalam melestarikan hutan. Hak ulayat mukim ini perlu dilestarikan dan diperkuat agar kelestarian hutan di Aceh dapat terjaga secara berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun