3. Sistem larangan. Masyarakat Aceh memiliki larangan-larangan tertentu dalam pemanfaatan hutan, seperti larangan menebang pohon-pohon tertentu, larangan berburu, dan larangan membuang sampah sembarangan.
Praktik-praktik pengelolaan hutan secara tradisional tersebut telah berhasil menjaga kelestarian hutan di Aceh selama berabad-abad lamanya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelestarian hutan di Aceh mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
1. Kemiskinan. Masyarakat Aceh yang masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, terpaksa melakukan penebangan liar untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2. Kesadaran masyarakat yang masih rendah. Masih banyak masyarakat Aceh yang belum menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan.
3. Aktivitas pertambangan. Aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan kerusakan hutan di Aceh.
Untuk mengatasi ancaman terhadap kelestarian hutan di Aceh, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat eksistensi hak ulayat mukim. Upaya-upaya tersebut antara lain:
Pertama, pemahaman masyarakat. Masyarakat Aceh perlu diberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan.
Kedua, pemberdayaan masyarakat. Masyarakat Aceh perlu diberdayakan untuk mengelola hutan secara lestari.
Ketiga, koordinasi dengan pemerintah. Pemerintah perlu berkoordinasi dengan masyarakat Aceh dalam pengelolaan hutan.
Dengan memperkuat eksistensi hak ulayat mukim, maka diharapkan kelestarian hutan di Aceh dapat terjaga. Hutan yang lestari akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Aceh, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Penutup