Perkawinan anak merupakan salah satu persoalan serius yang masih dihadapi oleh Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 1,2 juta kasus. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia dalam hal perkawinan anak.
Perkawinan anak merupakan pernikahan yang dilakukan oleh seorang perempuan di bawah usia 18 tahun. Menurut Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), usia 18 tahun merupakan batas minimal untuk menikah. Perkawinan anak dapat berdampak negatif terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak.
Dampak negatif perkawinan anak
Perkawinan anak memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak.Â
Anak yang menikah di usia dini memiliki risiko lebih tinggi mengalami kehamilan tidak diinginkan, komplikasi kehamilan dan persalinan, serta kematian ibu dan bayi. Anak yang menikah di usia dini juga berpotensi besar putus sekolah dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Perkawinan anak dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak, antara lain: Pertama, risiko kematian ibu dan bayi. Anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan. Hal ini dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi.Â
Kedua, risiko stunting. Anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi stunting. Hal ini disebabkan karena anak perempuan yang menikah di usia dini belum memiliki tubuh yang matang untuk mengandung dan melahirkan.
Ketiga, risiko infeksi menular seksual. Anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular infeksi menular seksual, seperti HIV/AIDS.
Perkawinan anak juga dapat berdampak negatif terhadap pendidikan anak, antara lain: Pertama, putus sekolah. Anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah. Hal ini disebabkan karena mereka harus fokus mengurus rumah tangga dan keluarga.
Kedua, kurang berprestasi. Anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko kurang berprestasi di sekolah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar secara optimal.
Perkawinan anak juga dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan anak, antara lain: Pertama, kemiskinan. Perkawinan anak dapat menyebabkan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena anak perempuan yang menikah di usia dini tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Kedua, kekerasan dalam rumah tangga. Anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Faktor-faktor penyebab perkawinan anak
Perkawinan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: Pertama, faktor sosial budaya. Perkawinan anak sering dikaitkan dengan budaya dan tradisi tertentu. Misalnya, dalam budaya tertentu, anak perempuan yang tidak menikah di usia muda akan dianggap sebagai aib.
Kedua, faktor ekonomi. Keluarga yang kurang sejahtera sering kali menikahkan anak perempuannya di usia dini untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Ketiga, faktor pendidikan. Kurangnya akses pendidikan, terutama pendidikan bagi perempuan, dapat meningkatkan risiko perkawinan anak.
Keempat, faktor hukum. Hukum yang belum sepenuhnya melindungi anak dari perkawinan anak juga dapat menjadi faktor penyebab perkawinan anak.
Upaya pencegahan perkawinan anak
Upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara terpadu dan melibatkan berbagai pihak, Pertama, peran pemerintah. Pemerintah harus memperkuat regulasi dan penegakan hukum untuk melindungi anak dari perkawinan anak.
Kedua, peran keluarga. Keluarga harus memberikan pemahaman kepada anak tentang bahaya perkawinan anak.Â
Ketiga, peran masyarakat. Masyarakat harus ikut berperan dalam mencegah perkawinan anak.
Keempat, peran pendidikan. Pendidikan harus menjadi sarana untuk meningkatkan pemahaman anak tentang bahaya perkawinan anak.
Perkawinan anak merupakan persoalan serius yang harus segera diatasi. Upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara terpadu dan melibatkan berbagai pihak. Dengan upaya yang serius dan berkelanjutan, diharapkan angka perkawinan anak di Indonesia dapat terus menurun.
Untuk itu, beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mencegah perkawinan anak. Pertama, bidang pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mencegah perkawinan anak. Pemerintah harus meningkatkan akses pendidikan, terutama pendidikan bagi perempuan. Pendidikan dapat memberikan pemahaman kepada anak tentang bahaya perkawinan anak.
Kedua, faktor kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat juga penting dalam mencegah perkawinan anak. Pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya perkawinan anak. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti televisi, radio, dan media sosial.
Ketiga, faktor kebijakan. Pemerintah harus memperkuat kebijakan untuk mencegah perkawinan anak. Kebijakan tersebut dapat berupa:
- Meningkatkan usia pernikahan minimal 18 tahunÂ
- Memberikan sanksi tegas bagi pelaku perkawinan anakÂ
- Meningkatkan akses layanan kesehatan dan perlindungan bagi korban perkawinan anak
Dengan upaya yang serius dan berkelanjutan, diharapkan angka perkawinan anak di Indonesia dapat terus menurun.