Dalam putusannya terkait uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A dari Surakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan tersebut. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu inkonstitusional bersyarat dan dimaknai usia paling rendah (minimal) 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan MK ini menimbulkan sejumlah polemik, salah satunya adalah terkait dengan istilah-istilah yang digunakan dalam putusan tersebut, yaitu open legal policy, dissenting opinion, dan concurring opinion. Ketiga istilah tersebut penting untuk dipahami agar kita dapat memahami putusan MK secara lebih komprehensif.
Open Legal Policy
Open legal policy (Kebijakan hukum terbuka) adalah kebijakan hukum terbuka yang diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Kebijakan hukum terbuka ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penentuan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden merupakan persoalan yang kompleks dan perlu mempertimbangkan berbagai faktor, seperti pengalaman, kompetensi, dan kecakapan.
Dalam putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, MK berpendapat bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menetapkan batas usia minimal 40 tahun sebagai calon presiden dan calon wakil presiden merupakan kebijakan hukum terbuka yang diberikan kepada pembentuk undang-undang. MK beralasan bahwa penentuan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden merupakan persoalan yang kompleks dan perlu mempertimbangkan berbagai faktor, seperti pengalaman, kompetensi, dan kecakapan.
Kebijakan hukum terbuka merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur materi tertentu dalam undang-undang, tanpa adanya batasan yang jelas dari konstitusi. Kebebasan ini diberikan untuk memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur materi tersebut sesuai dengan perkembangan zaman dan kepentingan masyarakat.
Kebebasan yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, kebebasan ini memberikan kesempatan yang luas atau fleksibel untuk mengatur negara. Namun, di sisi lain, kebebasan ini dapat berbahaya jika pembentuk undang-undang bertindak sewenang-wenang.
Dalam teori hukum progresif, para penafsir hukum diminta untuk tidak mempertahankan status quo dari hukum tersebut dan lebih memberikan perhatian besar kepada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan bernegara. Penafsir hukum memiliki kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan teks hukum sejak makna teks tersebut dibentuk. Fokus inti dari interpretasi teks hukum terletak pada penafsir yang pemikirannya mendominasi teks hukum tersebut.
Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir, Maria Farida mengemukakan pendapat bahwa dasar Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang bersifat mengatur (judicial activism) adalah unsur mendesak, unsur keadilan substansial serta unsur kemanfaatan. Muhammad Alim menambahkan bahwa dasar hukum dari niscayanya Hakim Konstitusi untuk membuat ketentuan (norma) baru adalah Pasal 45 ayat 1 UU Mahkamah Konstitusi yang pada intinya adalah Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan bukti dan keyakinan (kebenaran materiil), keadilan dan kemanfaatan, serta situasi yang mendesak sehingga harus diselesaikan.
Open legal policy oleh pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden + DPD) itu dapat dilakukan jika melaksanakan amanah pembentukan undang-undang organik dan anorganik. Untuk undang-undang organik, open legal policy dapat dilakukan jika ketentuan dalam UUD mengandung makna pilihan hukum atau kebijakan atau adanya kewenangan untuk menafsirkan frase dalam setiap ayat dan pasal dalam UUD 1945. Untuk pembentukan undang-undang anorganik, pembentuk undang-undang jauh memiliki keleluasaan dalam menentukan norma-norma yang sesuai dengan perkembangan zaman dan bahkan kepentingan pembentuk undang-undang.
Berikut adalah contoh kebijakan hukum terbuka yang telah diterapkan di Indonesia:
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari undang-undang tersebut.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan menteri sebagai turunan dari undang-undang tersebut.
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)Â memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan prioritas pembangunan nasional.
Kebijakan hukum terbuka dapat memberikan manfaat dan risiko bagi negara. Manfaatnya adalah dapat memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur materi tertentu secara fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman dan kepentingan masyarakat. Risikonya adalah dapat menyebabkan pembentuk undang-undang bertindak sewenang-wenang dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dissenting Opinion
Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dari pendapat mayoritas hakim dalam suatu putusan. Dalam putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, terdapat empat hakim yang menyatakan dissenting opinion, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Keempat hakim tersebut berpendapat bahwa putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon adalah tidak tepat. Mereka berpendapat bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menetapkan batas usia minimal 40 tahun sebagai calon presiden dan calon wakil presiden adalah konstitusional.
Dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pendapat berbeda yang dinyatakan oleh hakim atau beberapa hakim yang tidak setuju dengan mayoritas pendapat dalam suatu putusan. Dalam dissenting opinion, hakim atau hakim-hakim tersebut menyampaikan pandangan mereka yang berbeda mengenai fakta hukum, pertimbangan hukum, dan/atau amar putusan yang diambil oleh mayoritas hakim dalam suatu perkara.
Dissenting opinion memiliki arti penting dalam sistem peradilan karena memberikan ruang bagi hakim yang memiliki pandangan berbeda untuk menyampaikan pendapat mereka secara terbuka. Hal ini memungkinkan adanya perdebatan dan diskusi yang sehat dalam proses pengambilan keputusan hukum.
Dalam putusan MK, dissenting opinion seringkali dimuat sebagai bagian dari putusan tersebut. Hal ini memungkinkan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait untuk memahami bahwa terdapat perbedaan pendapat di antara hakim-hakim yang mengadili perkara tersebut.
Dissenting opinion juga dapat memberikan pandangan alternatif atau sudut pandang yang berbeda terhadap suatu masalah hukum. Pendapat ini dapat menjadi dasar bagi perubahan atau pembaharuan hukum di masa mendatang.
Dalam beberapa kasus, dissenting opinion juga dapat menjadi dasar bagi pengajuan kasasi atau upaya hukum lainnya untuk menguji kembali suatu putusan yang dianggap kontroversial atau tidak adil.
Dengan demikian, dissenting opinion merupakan bagian yang penting dalam proses peradilan dan memberikan kebebasan kepada hakim untuk menyampaikan pandangan mereka yang berbeda dalam suatu putusan.
Concurring Opinion
Concurring opinion adalah pendapat yang sama dengan pendapat mayoritas hakim dalam suatu putusan, tetapi disertai dengan alasan yang berbeda. Dalam putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, terdapat dua hakim yang menyatakan concurring opinion, yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Kedua hakim tersebut berpendapat bahwa putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon adalah tepat. Namun, mereka berpendapat bahwa putusan MK tersebut seharusnya tidak hanya memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai usia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, tetapi juga harus disertai dengan ketentuan bahwa pengalaman sebagai kepala daerah harus minimal 2 tahun.
Concurring opinion merupakan pendapat atau opini yang disampaikan oleh seorang hakim yang setuju dengan keputusan mayoritas dalam suatu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi memiliki alasan atau pertimbangan hukum yang berbeda. Dalam concurring opinion, hakim tersebut setuju dengan hasil akhir putusan, namun memberikan argumen atau penjelasan tambahan mengenai alasan-alasan atau pertimbangan hukum yang mendukung keputusan tersebut. Dengan kata lain, concurring opinion adalah pendapat yang setuju dengan keputusan mayoritas, tetapi memberikan sudut pandang atau penekanan yang berbeda terhadap masalah hukum yang sedang diputuskan
Kesimpulan
Open legal policy, dissenting opinion, dan concurring opinion adalah istilah-istilah penting yang perlu dipahami agar kita dapat memahami putusan MK secara lebih komprehensif. Ketiga istilah tersebut dapat membantu kita untuk memahami pertimbangan-pertimbangan yang mendasari putusan MK, baik yang bersifat mayoritas maupun minoritas.
Dalam kasus putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, istilah-istilah tersebut dapat membantu kita untuk memahami mengapa MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, tetapi juga mengapa terdapat empat hakim yang menyatakan dissenting opinion.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H