Mohon tunggu...
Loriza Virga Giardillah
Loriza Virga Giardillah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga. Buku antologi puisi: Katanya Pesta Tak Lagi Riuh (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sagara

8 Oktober 2023   20:35 Diperbarui: 8 Oktober 2023   20:36 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan rumahku selalu sibuk, riuh, ramai, tak tenang. Tetangga-tetanggaku mengaku bahwa mereka adalah aktivis, hobi menyuarakan keadilan. Ayahku juga demikian. Tapi bukan kegaduhan itu yang mengusikku, justru keheningan ibu yang menyita pandangku.

Satu tahun lalu, kami berempat: ayah, ibu, aku, dan adik laki-lakiku. Ruang keluarga kami cukup hangat sebelum angin kencang menguasainya, tepat setelah kepergian Sagara, adik laki-lakiku. Angin itu terus datang menyelimuti tubuh ringkih ibu, memeluknya erat-erat, membiusnya dalam dingin yang lekat. Aku mulai muak.

Selama satu tahun ini aku memilih peran menjadi pemerhati. Kuperhatikan tamat-tamat apa yang digaungkan ayah dan para tetanggaku, tanpa ada sedikitpun niat untuk ikut bergabung. Tapi sore ini, saat kembali melihat keheningan ibu, aku mulai menemui ayah. Kusampaikan padanya, aku akan ikut bersuara.

***

Ini tentang Sagara, adikku. Ia mati begitu saja. Kata seseorang yang kami kenal baik. Aku tak terima karena ia memilih kata mati untuk menyebut kepergian Sagara.

Adik laki-lakiku tak pernah berbuat aneh. Tentu aku percaya. Sampai suatu siang, seorang anak laki-laki seusianya datang ke rumah. Ia membawa tas adikku yang sudah compang-camping tak karuan. Anak laki-laki itu ketakutan saat memberikan tas saraya mengatakan, "Sagara habis, Kak. Dikeroyok." Ibuku pingsan. Ayahku marah. Aku hanya terdiam.

Sagara meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit. Benar, ia dikeroyok. Penyebabnya? Ia mengatai salah seorang dari anggota geng yang mengeroyoknya. Ingin sekali kujewer telinga adikku itu. Begitu mudahnya ia tersulut emosi. Tapi aku tahu aku tak akan bisa melakukannya, Sagara telah tiada.

Keluargaku memang berasal dari suku yang berbeda dari mayoritas warga yang tinggal di daerah ini. Tak sering adikku, bahkan aku juga, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari mereka. Aku tidak sedang membela Sagara, walaupun jelas ia pasti sakit hati terus menerus dikatai teman-temannya. Tapi aku masih tidak percaya Sagara memilih untuk  membalasnya.

***

Kegaduhan di depan rumahku belum juga surut sore ini. Keheningan ibu juga tak tahu kapan akan mereda. Kuputuskan membuka pintu.

Orang-orang itu mengulang teriakan di depan pintu sebuah rumah, persis di depan rumahku. Itu rumah Pak RT, yang putranya ikut dalam pengeroyokan adikku. Kunyalakan keras-keras mikrofon yang telah kupersiapkan, sekeras mungkin, jauh lebih keras dari teriakan semua orang.

"Siapa yang mau mati juga setelah ini?" tanyaku memecah kegaduhan.

"Katakan padaku, siapa yang mau mati menyusul Sagara setelah ini?" aku gunakan kata mati, kata yang tidak aku sukai dalam penyebutan kepergian seorang manusia.

"Silahkan katakan padaku, siapa yang mau menyusul keheningan ibuku satu tahun ini!"

Sore ini, semua ikut ibuku: hening. Kumatikan mikrofon. Suaraku sudah cukup jelas untuk didengar tanpa pengeras suara.

"Pak RT, keluarlah, ini Sofia. Saya kakak dari Sagara, anak laki-laki yang nyawanya direnggut putra Bapak,” aku menahan suaraku agar tak diiringi isak tangis saat menyebut kembali nama Sagara.

“Saya sudah tidak marah. Saya hanya muak, Pak. Warga Bapak terus meneriakkan keadilan, seolah-olah lupa selama ini mereka turut serta mendebatkan perbedaan. Bapak, keluarlah. Sampaikan pada warga Bapak bahwa Bapak siap membawa putra Bapak menuju hukum yang adil,” kuhentikan sejenak suaraku sembari melihat satu persatu warga di sekeliling yang tetap hening.

“Boleh jadi setelah ini saya yang mati dikeroyok warga karena lancang mengatakan mereka turut serta mengintimidasi keluarga kami, yang entah saya heran mengapa ayah saya jadi ikut-ikutan juga dalam kerumunan mereka. Mungkin sudah hilang akal atas kepergian putranya. Tapi, Bapak, warga Bapak ternyata baik juga. Mereka ingin putra Bapak dihukum selayaknya, sama seperti pelaku lain yang merenggut nyawa adik saya, adik yang saya sayangi, yang juga ikut bersalah karena terpancing emosinya."

Keheningan masih berlanjut. Tiba-tiba ibuku keluar rumah. Suaranya menyabotase seluruh sumber suara.

"Terima kasih, Sofia. Ibu sudah selesai dengan semua ini," mata ibuku mulai memerah saat mulai berbicara. Air matanya jatuh begitu saja. Suaranya gemetar, suara yang tak pernah kudengar lagi setelah satu tahun lamanya.

"Saya ingin hidup kembali sebagaimana negara ini menginginkan warganya hidup. Kami pendatang, tapi kami juga bagian dari daerah ini. Putra saya meninggal, dan sore ini saya sudah ikhlas. Saya tidak ingin ada yang pergi lagi karena perbedaan yang tidak perlu diperdebatkan," suara ibu semakin lirih.

"Pak RT, keluarlah. Biarkan putra Bapak diadili sebagaimana mestinya. Lalu biarkan ia kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Ia seusia putra saya, Pak. Izinkan saya melihatnya tumbuh tanpa terus menerus dihantui ketakutan," ibu menghentikan kalimat lalu menyeka air matanya.

Suara pintu terbuka, Pak RT keluar bersama putranya yang terlihat amat ketakutan. Tak perlu ditanyakan bagaimana mereka bertahan satu tahun ini di dalam rumah. Pak RT menyerahkan putranya kepada hukum. Ia menemui warganya untuk pertama kali. Entah warga masih menganggapnya pemimpin atau bukan. Tapi sore ini ia katakan, Saya tidak pantas lagi menjadi seorang pemimpin, seraya menangis dan meminta maaf padaku, ayah dan juga ibu.

***

Hari menjelang magrib usai Pak RT akhirnya menyerahkan putranya. Para tetangga satu persatu menghampiriku dan ibu. Yang muda menyimpuhkan diri di kaki ibu dan yang lebih tua menjabat tangan kami lebih dulu: meminta maaf. Ini adalah hal yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan, apakah harus adikku pergi dulu sampai semua sadar bahwa negara ini penuh dengan perbedaan yang bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk hidup saling berdampingan.

Kupandangi wajah ibuku yang tak lagi sendu. Tentu setiap kejadian akan ada hikmahnya, Gara, ucapku lirih sembari menyebut nama adik laki-lakiku. Keheningan ibu benar-benar telah usai. Depan rumahku tidak lagi riuh gaduh. Kehangatan ruang keluarga kami telah kembali. Kami melanjutkan hidup bersama warga yang berbeda-beda tetapi sepakat bahwa kami adalah satu, Bhineka Tunggal Ika.

***

Dua tahun sudah setelah kejadian sore itu dan artinya tiga tahun sudah Sagara meninggalkan kami semua. Aku masih ingat kalimat yang seringkali ia ucapkan, “Gara mau ajak Rio main game buatan Gara, Kak. Tapi kapan ya. Sepertinya Rio begitu tidak menyukaiku.” Rio, anak Pak RT yang selalu Gara harapkan untuk bisa jadi teman bermainnya ternyata menjadi salah seorang yang menghabisi nyawanya.

Tapi aku tahu hati Sagara akan tetap seluas segara: lautan. Aku percaya di atas sana ia pasti telah memaafkan Rio dan teman-teman lainnya. Begitupun aku dan keluargaku di sini. Kami telah memaafkan semuanya.

Untuk adikku, Sagara Nugraha. Kakak tahu kamu begitu mencintai Indonesia, negerimu. Tapi sayang kamu harus pergi sebelum merasakan indahnya tempat tinggal kita saat ini. Ibu sudah kembali ceria, Dik. Warga sudah tidak membeda-bedakan kita lagi. Teman-teman yang dulu mengeroyokmu telah bebas, bahkan mereka sering datang ke rumah mengunjungi ibu dan ayah. Kakak senang kita di sini sekarang hidup berdampingan dalam perbedaan.

Mimpimu kini sudah terwujud di sini, Dik. Kamu boleh berbangga. Beristirahatlah dengan tenang di sana, Sagara Nugraha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun